Selasa 24 Apr 2018 13:53 WIB

G-7 Sebut Rusia Membuat Situasi Dunia tak Stabil    

G-7 meminta Rusia menghentikan tindakan tak bertanggung jawab

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nidia Zuraya
Bendera Rusia
Bendera Rusia

REPUBLIKA.CO.ID, OTTAWA -- Negara-negara anggota G'7 menuding Rusia mendestabilisasi situasi di dunia. Hal itu disampaikan melalui pernyataan bersama para menteri luar negeri anggota G-7 ketika menggelar pertemuan di Toronto, Kanada, pada Senin (23/4).

 

"Kami berkomitmen untuk melindungi dan mempromosikan sistem internasional berbasis aturan. Ini bertentangan dengan latar belakang pola perilaku Rusia yang tak bertanggung jawab dan tidak stabil, termasuk intervensi di negara-negara sistem demokrasi," kata negara anggota G-7 dalam pernyataannya, dikutip laman kantor berita Rusia TASS.

 

Negara-negara anggota G-7 memang tak menyinggung secara eksplisit tentang bentuk perilaku Rusia yang tak bertanggung jawab. Namun mereka meminta Rusia menghentikan polah ini sebab dianggap sangat merugikan prospek kerja sama yang konstruktif.

 

"Kami mendesak Rusia memenuhi kewajiban internasionalnya, serta tanggung jawabnya sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, untuk menegakkan perdamaian dan keamanan internasional. Sekali pun demikian, kami akan terus terlibat dengan Rusia dalam mengatasi krisis regional dan tantangan global," ujar negara anggota G-7.

 

Saat ini Rusia diketahui tengah terlibat perselisihan diplomatik dengan Inggris. Hal ini dipicu oleh aksi penyerangan Sergei Skripal dan putrinya Yulia Skripal di Salisbury, Inggris, pada awal Maret lalu. Skripal merupakan agen ganda yang pernah bekerja di dinas intelijen luar negeri Rusia.

 

Inggris menuding Rusia menjadi dalang aksi penyerangan Skripal. Tudingan ini dibantah tegas oleh Rusia. Akibat kasus ini, Inggris pada 15 Maret lalu memutuskan mengusir 23 diplomat Rusia dari negaranya. Hal ini segera dibalas Rusia dengan melakukan hal serupa, yakni mengusir 23 diplomat Inggris dan menutup British Council di sana.

 

Belakangan sejumlah negara Eropa, termasuk Amerika Serikat (AS) dan Australia turut melakukan pengusiran terhadap diplomat-diplomat Rusia. Hal ini dilakukan sebagai dukungan terhadap Inggris.

 

Selain kasus Skripal, Rusia juga terlibat polemik dalam krisis Suriah. AS, Inggris, dan Prancis menuding Suriah menggunakan senjata kimia ketika melakukan serangan ke Douma di Ghouta Timur. Serangan tersebut menewaskan sedikitnya 70 orang.

 

Rusia selaku sekutu Suriah membantah tudingan ketiga negara. Moskow menyatakan Suriah tak pernah melakukan serangan ke Douma dengan menggunakan senjata kimia. Namun bantahan Rusia tak digubris oleh AS, Inggris, dan Prancis.

 

Dua pekan lalu, ketiga negara melancarkan serangan udara ke Suriah. Serangan tersebut menargetkan fasilitas-fasilitas militer yang diyakini menjadi tempat pengembangan senjata kimia rezim Suriah. Presiden AS Donald Trump mengklaim serangan udara sukses dan tepat sasaran.

 

Pemerintah Suriah mengecam serangan tersebut. Suriah menyatakan serangan udara itu merupakan balasan atas kekalahan proksi teroris yang dikendalikan ketiga negara di Ghouta Timur. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement