Kamis 26 Apr 2018 15:33 WIB

Turis Muslim Milenial Habiskan 157 Miliar Dolar AS di 2020

Arab Saudi masih menjadi pasar perjalanan outbound terbesar.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Ani Nursalikah
Wisatawan Muslim tengah berlibur
Foto: Youtube
Wisatawan Muslim tengah berlibur

REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Wisatawan Muslim (Muslim traveler) diproyeksi menghabiskan dana 157 miliar dolar AS pada 2020. Angka itu didorong oleh generasi wisatawan milenial. Sementara itu, Arab Saudi masih menjadi pasar perjalanan outbound terbesar, yang diproyeksi akan tumbuh sebesar 17 persen selama tiga tahun ke depan dan mencapai sebesar 27,9 miliar dolar.

Angka-angka itu dirilis selama Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pariwisata Halal Global yang digelar di event Arabian Travel Market yang berlangsung di Dubai World Trade Center pada Selasa (24/4). Selama seminar pertama yang berjudul 'Pariwisata Halal, Seberapa Banyak yang Telah Diraih?', Pendiri dan CEO Salam Standard dan Tripfez, Faeez Fadhlillah, menyoroti semakin pentingnya wisatawan Muslim milenial yang diilustrasikan perubahan tren sosio-ekonomi global.

Ia juga menggarisbawahi potensi yang terpendam dari pasar wisata Muslim. Ia mengatakan, negara-negara terbesar dan beberapa negara dengan pertumbuhan tercepat di dunia ditemukan di Asia dan Timur Tengah.

"Daerah-daerah ini biasanya memiliki populasi Muslim besar yang muda dengan kelas menengah yang makmur," kata Fadhlillah, dilansir di Khaleej Time, Kamis (26/4).

Selain itu, ia mengatakan komunitas Muslim generasi kedua dan ketiga di negara maju seperti Eropa dan Amerika Utara sekarang memiliki daya beli jauh lebih besar. Secara keseluruhan, menurutnya, pertumbuhan gabungan dari mereka menghasilkan peningkatan permintaan untuk perjalanan dan pariwisata berbasis agama.

Selama seminar kedua yang mengangkat tema 'Perjalanan Halal Menjadi Arus Utama', pendiri dan CEO Sociable Earth, Omar Ahmed, mengungkapkan beberapa hasil penting dari survei terbaru. Survei diikuti 35 ribu pelancong Muslim berpartisipasi.

"Tentu saja, pasar perjalanan halal telah lulus dari status fungsionalnya menjadi kekuatan yang membentuk industri, dalam dirinya sendiri. Ini telah menjadi arus utama," kata Ahmed.

Ia mengatakan, organisasi pariwisata dan perjalanan arus utama sekarang harus menjadi jauh lebih proaktif. Hal itu jika mereka ingin menarik semakin banyak wisatawan halal dan memanfaatkan potensi pasar yang sangat besar. Bahkan, menurutnya, destinasi wisata di negara-negara barat dapat berbuat lebih banyak.

"Kampanye yang kami kelola untuk Pariwisata Jenewa sekarang dapat digunakan sebagai patokan. Bersama-sama kami mendapatkan tambahan 70 ribu pengunjung unik ke situs web mereka," ujar Ahmed.

Dalam pertemuan tersebut juga dibahas topik diskusi lain tentang interpretasi pariwisata halal. Para panel dalam diskusi itu menyepakati pariwisata halal memiliki banyak sisi yang berbeda dan fakta itu berarti ada hal-hal yang berbeda untuk orang yang berbeda. Hal itu dikatakan tergantung pada nilai-nilai Islam mereka sendiri, apakah konservatif atau lebih liberal.

Ahmad mengatakan, mereka juga harus terus mendidik pelancong (dan destinasi wisata) tentang istilah 'Perjalanan Halal'. Karena menurutnya banyak yang masih tidak menyadari apa arti yang sesungguhnya. Ia mengatakan, kampanye kesadaran ini akan selalu berjalan, konstan dan berubah selamanya.

Panel setuju kerap kali destinasi wisata ternyata ramah Halal tanpa benar-benar menyadarinya. Menurut Manajer Pasar dari Pariwisata Jenewa, Tamara Tawil, di tempat di mana banyak destinasi Eropa yang keliru, mereka hanya perlu berkomunikasi lebih efektif. Menurutnya, kampanye berdasarkan gambar adalah kuncinya.

"Wisatawan Muslim menginginkan pengalaman baru, jadi tujuan harus menggambarkan hal itu. Mereka tentu tidak ingin melihat gambar stereotip yang mengingatkan mereka tentang rumah," kata Tawil.

Menurut survei Sociable Earth, salah satu penemuan utama adalah responden mengatakan negara-negara non-Muslim harus meningkatkan ragam makanan halal di hotel (61,3 persen), masjid terdekat (61,1 persen), restoran halal (55,2 per cent), dan menawarkan vila kolam renang pribadi (14 persen), untuk menarik lebih banyak tamu Muslim.

Ahmed menyarankan, para pemangku kepentingan di seluruh spektrum pariwisata dan perhotelan sekarang perlu memanfaatkan temuan-temuan ini dan harus memahami tren yang menentukan sektor tersebut dan beradaptasi. Hal itu seperti - konfigurasi ruang yang fleksibel, kegiatan rekreasi yang tepat dan pilihan makan.

"Memfasilitas kenyamanan bagi wisatawan Halal, ketika menjelajahi destinasi non-Muslim yang baru," kata Ahmed.

Meskipun, ia mengatakan mereka juga memfokuskan upaya pada perjalanan solo Muslim dan juga liburan yang bebas jilbab. Namun, data mereka menunjukkan potensi besar bagi wanita yang bepergian bersama dalam kelompok untuk menikmati liburan dan pengalaman bebas jilbab.

"Tren yang kami rasa akan menjadi semakin populer," tambahnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement