REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa'adi menyampaikan tidak ada larangan menjadikan masjid sebagai tempat pendidikan politik untuk masyarakat dalam ajaran agama. Dia mengatakan tidak ada larangan, sepanjang yang disampaikan di masjid merupakan nilai dan etika berpolitik.
"Nilai dan etika berpolitik, seperti anjuran untuk saling menghormati perbedaan, persaudaraan (ukhuwah), kasih sayang dan toleransi," kata Zainut kepada Republika.co.id, Kamis (26/4).
Ia menerangkan, arti pendidikan politik yang disampaikan adalah politik kemuliaan, bukan politik praktis atau politik kekuasaan. Jadi yang dilarang jika masjid dijadikan tempat kegiatan politik praktis. Misalnya, untuk kampanye, mengajak, mempengaruhi untuk memilih atau tidak memilih seorang calon pemimpin.
(Baca juga: Gerakan Antipolitisasi Masjid: Berperang dengan Hantu?)
Ia menyampaikan, masjid juga dilarang dijadikan tempat menjelekkan, menyampaikan ujaran kebencian dan memfitnah, serta melakukan provokasi untuk melawan pemerintahan yang sah. Mengapa masjid dan tempat ibadah harus dijauhkan dari aktivitas politik praktis?
"Karena seringkali kegiatan politik praktis itu diwarnai dengan intrik, fitnah dan adu domba," ujarnya.
Zainut menjelaskan, masjid hakikatnya tempat bertemunya masyarakat dengan berbagai latar belakang sosial, budaya, politik dan paham keagamaan sehingga dapat dipastikan akan terjadi gesekan, konflik dan perpecahan di kalangan masyarakat jika masjid dipakai untuk tempat kampanye.