REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan ketua DPR, Setya Novanto (Setnov) mengaku stres pascavonis 15 tahun penjara karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi pengadaan KTP-el tahun anggaran 2011-2012. Selain vonis penjara, Setnov juga divonis pencabutan hak politik.
"Ya pastilah (stres), kita kan tidak menyangka demikian tapi ya sudahlah," kata Setnov di sela-sela menghadiri sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (27/4).
Setnov menjadi saksi untuk terdakwa dokter RS Medika Permata Hijau Bimanesh Sutarjo. Bimanesh didakwa bekerja sama dengan advokat Fredrich Yunadi untuk menghindarkan Setnov diperiksa dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi KTP-el.
Namun, Setnov belum memutuskan untuk mengajukan banding. "Ya kita lihat lah perkembangannya, terus dibicarakan dengan keluarga supaya semuanya, ya kita lihat nanti," tambah Setnov.
Setnov pun mengaku masih membicarakan dengan keluarga mengenai kemungkinan vonis malah diperberat bila mengajukan banding. "Sudah bicarakan, kita ngobrol perlu apa tindak lanjutnya, nanti kita lihat," tambah Setnov.
Dalam perkara korupsi KTP-el pada 24 April 2018, Setnov divonis 15 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Setnov juga dibebankan pembayaran uang pengganti sebesar 7,3 juta dolar AS (dengan kurs Rp 9000 saat itu adalah Rp 65,7 miliar) dikurangi Rp 5 miliar yang sudah dikembalikan Setnov serta mencabut jabatan publik selama lima tahun.