REPUBLIKA.CO.ID, KENDARI -- Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tenggara menampilkan objek wisata sejarah berupa kitab suci Alquran tulisan tangan berusia 523 tahun, sekitar abad XV atau pada 1505 dari Kabupaten Muna, Sabtu (28/4).
Alquran yang sudah dihibahkan sebagai warisan sejarah di gedung Museum Sultra tersebut ditulis saat Kerajaan Muna dipimpin Raja Sugi Manuru. Jenis kertas yang digunakan adalah dluwang, tinta tulisan terbuat dari getah buah-buahan, alat tulis terbuat dari lidi pohon enau atau biasa masyarakat setempat menyebut koroka.
Selain Alquran tulisan tangan, pada ajang pameran Hallo Sultra 2018 untuk memeriahkan hari jadi ke-54 Sultra, ikut dipertontonkan objek wisata sejarah dari etnis Tolaki, yakni Kutika dan Bilangari atau penunjuk waktu baik dan buruk saat memulai pekerjaan atau perjalanan.
Bagi Suku Tolaki yang mendiami daratan Sultra, alat tradisional Kutika dan Bilangari dimanfaatkan untuk meramal waktu ketika akan membuka lahan pertanian, mendirikan rumah, mencari pekerjaan, memulai usaha (berdagang) dan mengadakan upacara adat. Juga ikut ditampilkan uang masa Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) saat Kahar Muzakar memimpin gerilyawan 1952 di Sulawesi Tenggara.
Ciri fisik uang yang menjadi alat transaksi masa itu terdapat stempel bertuliskan Republik Islam Indonesia. Pada masa Kerajaan Buton, juga memiliki mata uang sebagai alat tukar yang disebut kampua yang dicetak pertama kali oleh Ratu Buton yang kedua, Bulawambona yang memerintah sekitar abad XIV.
Kampua terbuat dari benang yang ditenun menjadi kain dan berfungsi sebagai alat tukar tahun 1852, kemudian digantikan dengan mata uang kompeni atau kolonial. Kampua tetap digunakan di desa-desa wilayah Kerajaan Buton hingga 1940.
Ada juga payung Raja Konawe sebagai pemberian dari Raja Luwu bernama Raja Dewata Setia Raja Matindrol kepada Raja Konawe bernama "Maago" yang diberi gelar "Sangia Mbinauti", artinya raja yang diberi payung pada 1600 masehi.
Petugas stan Museum Sultra La Ludi (58 tahun) mengatakan masih banyak objek sejarah dan budaya masa lampau yang perlu diketahui generasi muda agar tidak kehilangan peran. "Ajang pameran seperti ini penting, karena generasi muda atau anak-anak dapat berinteraksi untuk mempertanyakan hal-hal yang ingin diungkap bukti sejarah yang ada," kata La Ludi.