REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menyatakan dukungan kepada Presiden Afghanistan Ashraf Ghani untuk melakukan perundingan damai dengan Taliban. NATO mengaku siap membantu Ghani guna mengakhiri konflik di negaranya.
"29 negara sekutu bersatu dan menyatakan dukungan atas perundingan damai pemerintah Afghanistan dan siap menghormati kesepakatan politik untuk mengakhiri kekerasan," kata Sekretaris Jendral NATO Jens Stoltenberg.
NATO bahkan mengaku siap menengahi perundingan antara pemerintah Afghanistan dan Taliban. Prundingan damai akan mengarah pada peran kedua pihak bertikai di dalam negeri dan komunitas internasional.
Presiden Ashraf Ghani menawarkan perdamaian tanpa syarat dengan taliban. Ghani membuka pintu bagi kelompok Taliban untuk menjadi partai politik yang sah secara hukum. Tawaran tersebut diberikan sebagai bagian dari rencana perdamaian kedua belah pihak.
Tawaran yang dibuat pada awal konferensi internasional itu bertujuan guna menciptakan sebuah platform untuk membentu proses perundingan damai. Tawaran tersebut diharapkan membuat kelompok Taliban berminat mengadakan dialog dengan pemerintah setempat.
Pemerintah Afganhistan meminta gencatan senjata dan siap untuk membebaskan para tahanan Taliban. Presiden Ghani juga bersedia mengadakan peninjauan kembali konstitusi sebagai bagian dari sebuah perjanjian dengan Taliban.
"Meski faktanya mereka belum menerima tawaran presiden, kami mendesak Taiban untuk ambil bagian dari proses perdamian yang diinisiasi dan dipimpin pemerintah Afghanistan," kata Jens Stoltenberg.
Perdamaian yang terjadi antara Afghanistan dan Taliban akan membuka jalan bagi AS dan sekutu untuk menarik mundur pasukan mereka dari negara tersebut. Perang di Afghanistan setidaknya menelan biaya sekitar 800 miliar hingga 1 triliun dolar tergangung dari kebutuhan. Perang tersebut sekaligus menjadi konflik termahal dalam sejarah AS.
Sejak 2003, perang juga telah menewaskan sekitar 3400 prajurit dimana 2300 diantaranya merupakan tentara AS. NATO, pada 2015 memulai pelatihan militer kepada masyarakat lokal yang hingga kini telah mengumpulkan sekitar 16.000 prajurit. Namun, perang tetap terjadi hingga menemui kebuntuan.
NATO menilai tawaran yang dilayangkan Presiden Ghani merupakan peluang yang unik. Kepala pasukan NATO di Afghanistan Jendral John Nicholson mengatakan, tawaran datang ketika angkatan udara Afghanistan menjadi lebih efektif dan pada saat yang bersamaan polisi dan pasukan operasi khusus bertambah dua kali lipat yang sudah pasti memberikan tekanan kepada musuh.
Sementara, Perwakilan Senior Warga Sipil NATO Cornelius Zimmermann meminta militer internasional itu untuk tidak segera meninggalkan Afghanistan. Dia mengatakan, NATO seharusnya tetap mempertahankan keberadaan mereka di negara selama mungkin untuk mewujudkan Afghanistan yang mandiri dan stabil.
Taliban sejauh ini masih enggan untuk menerima pembicaraan langsung dengan pemerintah Afghanistan. Mereka menuntut penarikan militer Amerika Serikat (AS) dan internasional dari negara sebagai prasyarat untuk memulai tawaran perbincangan damai.
Penarikan tentara AS dari Afganistan itu bukan tanpa alasan. Anggota senior kelompok tersebut sebelumnya mengatakan, Taliban berjuang untuk kemerdekaan negara dan bukan untuk perebutan kekuasaan. Dia melanjutkan, perjuangan kelompok akan rampung jika kekuatan asing menarik diri.
Taliban juga sudah mengirim surat kepada pemerintah AS dan mengundang Presiden Donald Trump ikut dalam negosiasi damai tersebut. Surat berisi permohonan kepada Paman Sam dan anggota kongres untuk membujuk Trump turun tangan dalam negosiasi.
"Karena hanya Amerika yang bisa memutuskan dan menerapkan keputusan untuk menarik pasukan asing dari Afghanistan, itulah mengapa pembicaraan langsung dengan AS diperlukan pada tahap pertama," kata anggota senior tersebut.
Taliban juga meminta kantor politik mereka yang berbasia di Qatar tidak ditutup. Ini menyusul adanya kabar yang menyebutkan jika pemerintah Afganistan telah meminta otoritas Qatar untuk menutup kantor mereka di Doha.