REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Muchtar Pakpahan menyebutkan, hingga saat ini nasib dan kesejahteraan buruh tidak banyak berubah. Mulai dari mutu upah buruh, kebebasan berserikat hingga dalam hal pemenuhan hak-hak buruh.
"Kebebasan berserikat misalnya, itu resmi dilindungi undang-undang sebagai akar kesejahteraan buruh. Tapi di lapangan, kebebasan berserikat itu belum ada, belum eksis, kebebasan buruh itu masih menghadapi pengerdilan," kata Muchtar di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (28/4).
Sikap-sikap 'pengerdilan' yang diterima serikat buruh, Muchtar mengatakan, berbanding terbalik dengan perlakuan yang diterima perusahaan jika terbukti bersalah. Dia mengatakan, pemerintah cenderung tak abai pada kasus-kasus yang melibatkan perusahaan atau pemilik modal. "Kami ada 220 laporan, tapi tidak ada yang digubris. Kami laporkan ke presiden tidak ada tanggapan, lalu kami ke polisi, ke Kemenaker juga," kata dia.
Begitupun dalam hal penggajian buruh, dia mengatakan, hingga kini tidak mengalami perubahan yang signifikan. Dia mengumpamakan, nominal gajinya ketika menjadi dosen pada tahun 80-an sebesar Rp 750 ribu. Lalu tahun ini, setelah menjadi profesor di perguruan tinggi swasta, gajinya sebesar Rp 7,1 juta.
"Orang Eropa pasti akan bilang itu kenaikan gaji yang luar biasa. Tapi coba bandingkan nilai tersebut ke beras, ke emas, ke dolar, ke rumah, itu sama saja. Tidak makin baik. Tapi ini untuk buruh kasar, ya bukan guru menengah ke atas," tegas dia.
Kendati begitu, dia mengimbau, agar para buruh tidak menyalurkan aspirasi secara kasar dalam peringatan Hari Buruh pada 1 Mei nanti. Dia menganjurkan agar buruh selalu menyalurkan aspirasinya dengan cara yang baik. "Kalau masa Pak Harto, May Day itu identik dengan (demo) yang keras, itu tidak perlu lagi, kami sudah menyampaikan aspirasi dengan baik," kata dia.