REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia Sergey Lavrov menuduh Amerika Serikat (AS) tengah berusaha memecah belah Suriah. AS dinilai telah mengabaikan hukum internasional dengan meluncurkan rudal ke negara itu.
Tuduhan itu disampaikan Lavrov pada Sabtu (28/4) saat bertemu Menlu Turki dan Iran di Moskow. Mereka melakukan pembicaraan tentang perang Suriah yang telah berlangsung selama tujuh tahun dan menewaskan ratusan ribu orang.
Pertemuan itu dimaksudkan untuk membahas persiapan perundingan putaran kesembilan. Perundingan yang akan diadakan bulan depan di Kazakhstan itu akan fokus pada isu-isu politik dan kemanusiaan.
Rusia, Iran, dan Turki menganggap bisa menjadi negara penjamin dalam negosiasi antara oposisi Suriah dan pemerintah. Mereka mengatakan perundingan, yang bertujuan untuk mengakhiri kekerasan di Suriah, adalah satu-satunya cara untuk mengurangi ketegangan.
Dalam pertemuan tersebut, ketiga menteri itu sepakat Suriah harus tetap menjadi entitas yang berdaulat dan utuh. "Pernyataan Amerika yang menyatakan mendukung integritas teritorial Suriah hanyalah kata-kata yang, tampaknya, mencakup rencana untuk memformat ulang Timur Tengah dan rencana untuk membagi Suriah menjadi beberapa bagian," kata Lavrov.
"Sementara kami mengupayakan perdamaian, beberapa rekan kami yang lain mencoba untuk menghancurkan hasil dari upaya bersama kami yang konstruktif, bahkan tidak mengikuti hukum internasional seperti dalam operasi baru-baru ini yang dilakukan AS, Inggris, dan Prancis," kata Lavrov. Ia menambahkan, serangan rudal AS di Suriah sangat memperburuk situasi.
Serangan gabungan AS, Inggris, Prancis pada 14 April menargetkan infrastruktur senjata kimia milik Pemerintah Suriah. Serangan dilakukan menyusul dugaan serangan gas kimia di Kota Douma yang sebelumnya dikuasai pemberontak, di luar Damaskus.
Menlu Turki Mevlut Cavusoglu mencatat pentingnya kerja sama dengan PBB untuk memastikan legitimasi solusi politik di Suriah, karena setiap solusi militer tidak akan berkelanjutan. Namun, perbedaan muncul mengenai masa depan Presiden Suriah Bashar al-Assad, dan apakah ia harus tetap berkuasa.
"Turki selalu merasa Assad tidak harus benar-benar menjadi bagian dari masa depan konstitusional Suriah. Rusia selalu mengatakan oposisi perlu prasyarat itu karena mereka merusak prospek perdamaian Suriah," lapor kontributor Aljazirah, Rory Challands, dari Moskow.
Pembicaraan antara Rusia, Iran, dan Turki secara teratur dilakukan sejak 2017 di ibu kota Kazakhstan, Astana, dan dimaksudkan untuk melengkapi proses perdamaian yang digagas PBB.