Ahad 29 Apr 2018 11:29 WIB

Tangisan Kepala Intelijen Saat Pemimpin Dua Korea Bertemu

Kepala Dinas Intelijen Korsel bekerja keras upayakan dialog dua Korea.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, kiri, dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in mengangkat tangan mereka setelah menandatangani pernyataan bersama di desa perbatasan Panmunjom di Zona Demiliterisasi, Korea Selatan, Jumat (27/4).
Foto: Korea Summit Press Pool via AP
Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, kiri, dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in mengangkat tangan mereka setelah menandatangani pernyataan bersama di desa perbatasan Panmunjom di Zona Demiliterisasi, Korea Selatan, Jumat (27/4).

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Seorang pria terlihat menangis di belakang Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in dan pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un, ketika keduanya mengumumkan perjanjian bersejarah pada Jumat (27/4). Pria itu adalah Kepala Dinas Intelijen Nasional Korsel (NIS), Suh-hoon, yang selama dua dekade ini telah bekerja keras untuk mengupayakan dialog antara Korsel dan Korut yang bermusuhan.

Pada 2000, Suh-hoon melakukan perjalanan ke Pyongyang untuk membujuk pemimpin Korut Kim Jong-il agar mengadakan KTT antar-Korea. Siapa sangka 18 tahun kemudian ia menyaksikan putra Kim Jong-il menjanjikan perdamaian di semenanjung Korea, tepat di perbatasan kedua negara.

Pada Jumat (27/4), untuk pertama kalinya pemimpin Korut menginjakkan kaki di tanah Korsel sejak Perang Korea pada 1950-1953. Kedua negara itu terpecah dalam keadaan perang.

Pertemuan penting itu terjadi kurang dari setahun setelah Moon Jae-in menjabat sebagai presiden Korsel dan mengangkat Suh sebagai kepala Dinas Intelijen Nasional. Moon mengatakan, Suh adalah orang yang tepat untuk menghidupkan kembali hubungan antar-Korea yang sempat tegang karena senjata nuklir Korut.