REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Seorang aktivis terkemuka Thailand, Somyot Prueksakasemsuk (56 tahun), dibebaskan dari penjara pada Senin (30/4) setelah sempat menjalani masa hukuman selama lima tahun. Ia divonis 10 tahun penjara pada 2013 di bawah hukum lese-majeste Thailand karena dituduh menghina keluarga kerajaan.
Pada 2017, mantan editor majalah politik Voice of Taksin ini mendapat potongan setengah masa tahanan oleh Mahkamah Agung Thailand. Meski sudah bebas, ia mengaku tetap akan terus menyerukan demokrasi di negaranya.
Pemerintahan militer Thailand, yang dipimpin oleh mantan panglima militer Prayuth Chan-ocha, diketahui telah berulang kali menunda pemilihan umum. Tanggal terbaru yang ditetapkan untuk pemilu adalah Februari 2019.
"Menyerukan demokrasi adalah hal yang baik, terutama terkait pemilihan umum. Saya akan menggunakan hak saya sebagai warga negara Thailand untuk mendesak agar pemilihan umum diselenggarakan sesegera mungkin," kata Somyot, kepada wartawan di luar penjara, tempat sekitar 100 pendukung menyambut pembebasannya.
Sejak awal tahun ini, sejumlah aksi protes banyak dilakukan mahasiswa untuk mendesak agar pemerintahan militer segera mundur dan pemilihan umum segera digelar. "Saya meminta pemerintah untuk tidak memberikan tipuan untuk kembali menunda pemilihan umum, karena hal ini tidak akan baik untuk perekonomian dan sektor lain di negara ini," kata dia.
Penasihat hukum junta, Kolonel Burin Tongprapai, telah memperingatkan Somyot agar tidak melanggar hukum. "Jika dia terlibat dalam aktivitas politik dan melanggar hukum lagi, maka kita harus melanjutkan dengan memberikan tindakan hukum terhadap dia," kata Kolonel Tongprapai.
Sejak kudeta pada 2014, junta, yang dikenal secara resmi sebagai National Council for Peace and Order, telah bersumpah akan mengambil tindakan keras terhadap mereka yang mengkritik kerajaan. Pengadilan telah menentukan jenis hukuman untuk pelaku penghinaan kerajaan.
Hukum lese-majeste Thailand adalah hukum yang paling ketat di dunia. Hukum itu mengkriminalisasi semua hinaan kepada monarki dan memberi ancaman hukuman penjara hingga 15 tahun untuk setiap kritik yang menyinggung raja, ratu, dan pewaris.
Hukum yang ada dalam pasal 112 hukum pidana ini telah memicu kecaman dari PBB dan kelompok-kelompok hak asasi manusia. Mereka mengatakan para penuduh sering menyalahgunakannya demi keuntungan politik.
Sedikitnya ada 94 orang yang telah diadili di bawah hukum lese-majeste sejak kudeta. Sebanyak 43 orang telah dijatuhi hukuman, menurut data dari kelompok iLaw, yang memantau kasus-kasus penghinaan kerajaan.