Senin 30 Apr 2018 16:15 WIB

Pemerintah Dinilai Lemah Tegakkan Hukum Reklamasi Jakarta

Reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta masih menimbulkan masalah

Rep: Amri Amrullah/ Red: Muhammad Hafil
Suasana proyek reklamasi Pulau D di Teluk Jakarta, Kamis (15/3).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Suasana proyek reklamasi Pulau D di Teluk Jakarta, Kamis (15/3).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Pemerintah dan aparat keamanan diangggap tak berdaya melakukan penegakkan hukum atas penyalahgunaan izin reklamasi di Teluk Jakarta. Padahal dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan Teluk Jakarta yang merupakan kawasan strategis nasional.

Hal ini disampaikan Ketua Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Marthin Hadiwinata dalam salah satu diskusi publik tentang 'Menyoal Kepastian Hukum dan Perlindungan Nelayan dalam Pemanfaatan Ruang dan Laut Teluk Jakarta' di KAHMI Center, Senin (30/4).

"Reklamasi di Teluk Jakarta sudah banyak yang mengatakan melanggar aturan, merusak lingkungan dan mengabaikan kehidupan nelayan di Teluk Jakarta, namun hingga kini penegakkan hukumnya tidak jelas dan cenderung dibiarkan," kata Marthin.

Ditegaskan dia, reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta hingga saat ini masih menimbulkan problematik dan cenderung proyek yang koruptif. Anehnya walaupun reklamasi Teluk Jakarta berpolemik di Perda Zonasi, namun beberapa proyek pembangunan pulau reklamasi masih saja bisa berjalan tanpa ada peringatan dari aparat keamanan.

Menurutnya inilah persoalan pelik dari pengelolaan kawasan laut dan pesisir di Indonesia. Tidak ada kepastian hukum yang jelas terkait pengelolaan kawasan laut dan pesisir. Dan pada akhirnya, menurut dia, yang akan selalu dirugikan para nelayan yang tinggal di kawasan pesisir.

Pakar Hukum bidang Perencanaan dan Pengelolaan Ruang Laut dari Universitas Padjadjaran, Maret Priyanta menyatakan seharusnya kepentingan hukum reklamasi selaras dengan keterpaduan, keharmonisan lingkungan. Termasuk melindungi manusia dalam hal ini nelayan di kawasan tersebut.

Menurutnya, Indonesia sudah saatnya patuh pada rencana, pemanfaatan ruang laut harus didasarkan pada perencanaan yang ditetapkan dalam paraturan perundang-undangan. Antara lain Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional (KSN) dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan PuIau-pulau Kecil (RZWPSK).

Aturan ini menjadi dasar perizinan bagi setiap orang dalam kegiatan pemanfaatan ruang. "Jadi, pemanfaatan ruang laut wajib mempunyai Izin Lokasi perairan, Izin lokasi perairan wajib berdasarkan alokasi ruang dan peraturan pemanfaatan ruang dalam rencana Zonasi," terangnya.

Dewan Pakar KAHMI bidang Kelautan dan Perikanan, La Ode M. Kamaluddin menilai soal reklamasi di Teluk Jakarta seharusnya tetap mengedepankan kehidupan nelayan terlebih dahulu dibanding para pemilik properti besar. Bukan berarti tidak mengakomodir pemilik modal, tapi seharusnya tetap prioritas nelayan kecil, baru kepentingan pemilik modal.

"Apa yang terjadi sekarang adalah kucing-kucingan, sambil reklamasi ini berpolemik, pengembang tetap baru terus. Setelah jadi antar pemerintah pusat dan daerah di fait acompli, seolah harus menerima apa yang sudah terbangun," ungkapnya.

Disitulah menurutnya masalah penegakkan hukum di persoalan reklamasi sampai sekarang semakin tidak jelas. Guru Besar Perikanan Unhalu ini menilai soal reklamasi Teluk Jakarta yang telah terlanjur dibangun seharusnya tetap nelayan didahulukan, dan bila nelayan telah diprioritaskan baru pemodal diberikan kewenangannya sesuai aturan yang berlaku.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement