Senin 30 Apr 2018 18:18 WIB

Pengamat Hukum Sebut KPK Bisa Selidiki Rekaman Rini-Sofyan

KPK bisa selidiki terhadap rekaman tersebut dan bisa dinaikkan ke penyidikan

Rep: Ali Mansur/ Red: Bilal Ramadhan
Gedung KPK
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Gedung KPK

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyatakat digemparkan dengan beredarnya rekaman percakapan telepon diduga Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir, yang tengah viral di media sosial. Dalam pembicaraan tersebut, keduanya cukup serius membahas mengenai proyek PLN dan Pertamina.

Menanggapi hal itu, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan baik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau kejaksaan dapat melakukan penyelidikan. Kemudian jika memang itu suatu kebenaran atau fakta maka sudah dapat ditingkatkan menjadi penyidikan.

"Sebenarnya penegak hukum khususnya KPK sudah bisa menindaklanjutinya dengan penyelidikan apalagi pembicaraan ini sudah membicarakan fee proyek. Pasal 25 UU Tipikor UU 31/1999, menyatakan bahwa penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara korupsi harus didahulukan dari perkara lain," ujar Abdul Fickar, dalam pesan singkat yang diterima Republika.co.id, Senin (30/4).

Kemudian terlepas dari siapapun yang mengunggah informasi itu, terutama berindikasi terjadinya korupsi atau percobaan melakukan korupsi akan mendapatkan penghargaan. Oleh karena itu juga menjadi tidak logis dan melawan akal sehat jika terhadapnya dikenakan proses hukum.

"Ketentuan pasal 42 UU Tipikor menentukan bahwa pemerintah akan memberikan penghargaan kepada masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan atau pengungkapkan adanya tindak pidana korupsi," tambah Abdul Fickar.

Lanjut Abdul Fickar, bocornya rekaman percakapan antara Menteri Rini dan Sofyan Basir punya dua aspek hukum. Pertama terjadinya penyadapan yang kemudian disebarluaskan ke masyarakat.

Aspek kedua, munculnya atau terkuaknya informasi indikasi korupsi dalam pengelolaan BUMN yang dimanfaatkan oleh oknum pemerintahan, BUMN dan oknum lain. Adapun aspek hukum dari peristiwa tersebut dapat dikemujakan, adalah Undang-undang Tekomunikasi.

Undang-undang nomor 366 tahun 1999 itu mendefinisikan penyadapan sebagai kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendpatkan informasi dengan cara yang tidak sah.

"Pasal 40 Undang-Undang Telkomunikasi melarang penyadapan informasi melalui jaringan telkomunikasi dalam bentuk apapun dan berdasarkan pasal 56 dapat dipidana penjara 15 tahun," kata Abdul Fickar.

Kemudian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Ekektronik nomor 11 tahun 2008 diubah dengan Undang-undang nomor19 tahun 2016. Secara jelas mengaturnya pada Pasal 31 ayat 1, setiap orang dengan sengaja, tanpa hak, melawan hukum melajukan intersepsi atau penyadapan atas informasi ekektronik atau dokumen ekektronik dalam suatu komputer atau sistem elektronik tertentu milik orang lain.

"Berdasar pasal 47 diancam pidana 10 tahun plus Rp 800 juta," tuturnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement