Senin 30 Apr 2018 23:04 WIB

Hari Buruh, Ini Pesan Migrant Care untuk Pemerintah

Migrant Care meminta tidak ada politisasi isu buruh pada tahun politik.

Rep: Farah Noersativa/ Red: Andri Saubani
 Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah (kanan) bersama Aktivis Migrant Care Wahyu Susilo (kiri) saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi IX di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (25/4).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah (kanan) bersama Aktivis Migrant Care Wahyu Susilo (kiri) saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi IX di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (25/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Migrant Care, lembaga yang turut melindungi hak-hak buruh migran Indonesia mendesak pemerintah untuk memperkuat diplomasi perlindungan kepada buruh migran Indonesia. Hal itu diwujudkan dengan menerbitkan aturan untuk mengubah tata kelolah migrasi pekerja Indonesia yang berorientasi perlindungan.

“Kami menuntut konsistensi pemerintah untuk juga segera menerbitkan aturan untuk mengubah tata kelola migrasi pekerja Indonesia ke luar negeri yang berorientasi perlindungan, tanpa beban biaya yang memberatkan serta dikelola dengan mekanisme pelayanan publik,” ungkap Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo dalam siaran pers yang diterima Republika, Senin (30/4).

Wahyu melanjutkan, hal ini merupakan mandat dari UU Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia sehingga pihaknya perlu mendesak pemerintah. Sebab lainnya, saat ini menurutnya, Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 mengenai Tenaga Kerja Asing yang dikeluakan, dianggap untuk memudahkan pengaturan perizinan pengurusan tenaga kerja asing.

Dia juga menekankan, kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap buruh migran Indonesia masih terus terjadi baik di negara asal maupun negara tujuan bekerja. “Masih dijumpai adanya pelayanan-pelayanan yang diskriminatif, pembiaran atas terjadinya kasus perdagangan manusia serta kekerasan berbasis gender,” ungkanya.

Sebagai pekerja dan warga negara asing di negara tujuan, kata dia, para buruh migran juga rentan menghadapi tindak kekerasan, baik fisik maupun seksual, dan pelanggaran norma-norma perburuhan. Mereka juga kerap berada dalam kondisi terisolasi dan terjauhkan dari akses keadilan.

“Selain itu, jumlah buruh migran Indonesia yang menghadapi ancaman hukuman mati serta meningkatnya laporan mengenai jumlah buruh migran Indonesia yang kehilangan kontak dengan keluarga selama belasan tahun juga tercatat masih tinggi,” ungkapnya.

Hal itu juga, kata dia, yang menjadi hal yang bersifat mendesak yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah Indonesia. Migrant Care berupaya untuk terus mengawal pemerintah dalam perlindungan buruh migran Indonesia.

Menjelang kontestasi politik Pilkada 2018, Pilleg dan Pilpres 2019 mendatang, Migrant Care meminta penyelenggara pemilu untuk menjamin hak politik buruh migran Indonesia. Hal ini disebabkan patisipasi buruh migran Indonesia dalam pemilu, masih sangat rendah.

“Selama ini angka partisipasi buruh migran Indonesia dalam pemilu masih sangat rendah karena tidak ada keseriusan para penyelenggara pemilu untuk memastikan pemenuhan hak politik buruh migran,” kata Wahyu.

Selain itu, dia juga menegaskan agar dalam pelaksanaan kampanye, semua pihak  yang terlibat dalam kontestasi politik tak menggunakan isu-isu perburuhan secara brutal. Dia menyebut, dalam penggunaan isu perburuhan seharusnya digunakan sewajarnya dan tak berlebihan.

“Kami juga mengingatkan semua pihak yang berkontestasi dalam proses electoral tersebut untuk tidak mempolitisasi isu perburuhan secara brutal dan bahkan cenderung memecah belah kekuatan dan solidaritas kaum pekerja,” ungkapnya.

Memasuki tahun politik, Wahyu menganggap ada banyak hal terjadi dan mempengaruhi situasi politik ekonomi perburuhan Indonesia. Hal itu, berimbas pada kondisi buruh migran Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung.

“Politisasi isu pekerja asing yang makin kencang menyusul dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 20 tahun 2018 tentang Tenaga Kerja Asing harus disikapi secara hati-hati. Penyikapan yang memicu sentimen antipekerja asing, apalagi berbasis prasangka rasisme dan xenofobia bukan hanya kontra-produktif tetapi juga mengingkari semangat solidaritas lintas batas kaum pekerja,” ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement