Selasa 01 May 2018 15:00 WIB

Benarkah Terjadi Intimidasi di CFD, atau Hanya Perang Tagar?

Kegiatan Car Free Day disebut harus bebas dari kegiatan politik praktis.

Peserta Aksi 2019 Ganti Presiden bertemu denga peserta jalan santai dia sibuk kerja di hari bebas kendaraan bermotor di Kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Ahad (29/4).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Peserta Aksi 2019 Ganti Presiden bertemu denga peserta jalan santai dia sibuk kerja di hari bebas kendaraan bermotor di Kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Ahad (29/4).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhyiddin, Mas Alamil Huda, Farah Noersativa, Arif Satrio Nugroho, Umi Nur Fadhilah, Febrianto Adi Saputro, Dessy Suciati Saputri

Car Free Day (CFD) pada Ahad, 29 April 2018 di Thamrin, Jakarta Pusat, melahirkan isu baru. Dalam kegiatan yang rutin dilakukan itu tersebar isu adanya dugaan intimidasi yang diterima seorang ibu dengan anaknya oleh sejumlah massa yang mengenakan kaus bertuliskan #2019GantiPresiden. Tapi benarkah terjadi intimidasi terhadap ibu dan anak yang pada CFD kemarin mengenakan kaus putih bertuliskan #DiaSibukKerja itu?

Kabar adanya dugaan intimidasi itu menyebar cepat setelah beredarnya video yang memperlihatkan kerumunan massa aksi berkaus #2019GantiPresiden mengacung-acungkan lembaran uang kepada seorang pria dan seorang ibu berkaus #DiaSibukKerja. Video itu mendadak viral di dunia maya dan disimpulkan jika telah terjadi intimidasi.

Susi Ferawati, nama perempuan yang mengaku mendapatkan intimidasi saat CFD tersebut. Ia menjelaskan, saat itu sedang melewati kelompok massa yang mengenakan kaus #2019GantiPresiden karena tertinggal dari kelompok massa berkaus #DiaSibukKerja. Susi mengaku tertinggal dari kelompoknya karena harus mengantar anaknya ke toilet.

"Kebetulan ketika jalan rombongan itu (massa berkaus #DiaSibukKerja), anak saya mau ke toilet dan itu ada di Hotel Pullman. Saya mengantar anak dulu ke sana sekitar 10-15 menit," ujarnya di Mapolda Metro Jaya, Senin (30/4).

Setelah itu, Susi dan anaknya memilih berjalan memutar balik melewati Bundaran Hotel Indonesia ke arah Jalan MH Thamrin. Ia mengaku tidak sadar jika di dekat Hotel Indonesia Kempinski ada aksi kelompok massa berkaus #2019Ganti Presiden. Saat itulah, Susi mengaku mendapat olok-olok oleh kelompok tersebut.

"Diolok-oloklah, olok-oloknya tahu kan? Cebonglah, apa. 'Bayar bu ya, nasi bungkus ya, nasi bungkus, nasi bungkus'," katanya menirukan olok-olok yang diterimanya.

Susi mengaku tertekan karena dia sedang sendiri dikelilingi oleh kelompok lainnya. Hingga akhirnya, ada ucapan salah satu pria yang memicu dirinya melawan dan membela anaknya. "Maaf nih ya, bego lu kayak gitu, kenceng itu yang memicu saya untuk melawan mereka," ucap Susi.

Ia pun mengaku bukan sengaja melewati kelompok tersebut. Susi yang mengaku hanya simpatisan Joko Widodo itu juga mengaku tidak tahu saat itu ada kelompok #2019GantiPresiden yang mengenakan kaus berwarna hitam. Susi juga mengaku tidak ada kesengajaan ia melewati kelompok #2019GantiPresiden untuk menimbulkan gesekan.

"Kita santai aja kok, Mas, bahkan mereka jalan di tengah kita gitu, biasa aja gitu," ujarnya lagi.

Imbas kejadian tersebut, kata Susi, membuat anaknya ketakutan hingga menangis karena membela ibunya. Terkait kegiatan #DiaSibukKerja, Susi mengaku kegiatan tersebut memang sudah ada rencana dilakukan berupa kegiatan jalan santai.

"Kita memang ada rencana kumpul. Dari Monas, patung kuda, ke sana hanya muter aja pemberhentian di Thamrin," ujar dia.

photo
Peserta Aksi 2019 Ganti Presiden membentangkan spanduk di hari bebas kendaraan bermotor di Kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Ahad (29/4).

Susi mendatangi Polda Metro Jaya untuk melaporkan tindakan yang dialaminya tersebut pada Senin (30/4) siang. Pada hari yang sama, perwakilan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga berupaya melaporkan ke Polda Metro terkait kejadian yang dialami Susi. Namun, Susi mengaku melakukan pelaporan ini secara pribadi.

"Pribadi ini, saya gak ikut partai apa pun. Saya independen. Saya sendiri. Ibu rumah tangga," kata Susi.

Berbicara di Istana, Koordinator Staf Khusus Presiden, Teten Masduki, menyesalkan dugaan intimidasi di CFD. Ia berpendapat, upaya intimidasi terhadap kelompok lain seharusnya tak terjadi. Seluruh masyarakat pun dimintanya agar dapat menjaga situasi politik menjelang pemilu sehingga tak semakin memanas.

"Pilihan terhadap Presiden pada 2019 itu adalah kebebasan semua orang," ujar Teten ketika dikonfirmasi, Senin (30/4). Ia menilai, pro dan kontra terhadap pemerintah merupakan hal yang biasa.

Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban, Din Syamsuddin, prihatin terhadap aksi-aksi yang menimbulkan perpecahan bangsa seperti kasus dugaan intimidasi tersebut. "Saya prihatin dengan gejala bersifat dialektik yang menimbulkan perpecahan bangsa ini semakin dalam. Kalau bisa hal-hal semacam itu dapat dihindari,” ujar Din saat ditemui Republika.co.id usai menyambut Grand Sheikh al-Azhar, di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, Ahad (29/5) malam.

Menurut Din, kejadian tersebut seharusnya tidak terjadi dan semua pihak bisa mengendalikan diri. Jika pun ada perbedaan, menurut Din, harus bisa diselesaikan melalui mekanisme konstitusi.

"Masing-masing pihak mengendalikan diri, kalau ada perbedaan aspirasi politik sebenarnya sah-sah saja. Dan bagusnya hal itu diselenggarakan dengan mekanisme konstitusi, itulah pemilu, pilpres," ucapnya.

Din menegaskan tidak membela salah satu pihak dalam kasus tersebut. Namun, menurut Din, masyarakat saat ini cenderung mengabaikan etika politik. Jika terus terjadi gejala dialektika antarkedua kubu pendukung salah satu calon, kata Din, tidak mustahil akan menimbulkan perpecahan bangsa.

photo
Peserta Aksi 2019 Ganti Presiden bertemu denga peserja jalan santai dia sibuk kerja di hari bebas kendaraan bermotor di Kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Ahad (29/4).

"Yang kita ke depankan etika, sebaiknya istilah-istilah yang enggak lazim jangan dipakai ya, seperti label-label saling menjelekkan, atau label-label sinis yang berkonotasi menjelekkan. Bangsa ini memerlukan etika politik. Silakan berbeda pendapat, itu sah,” kata Din.

"Pilihan terhadap Presiden pada 2019 itu adalah kebebasan semua orang."

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menyayangkan dilibatkannya anak dalam kegiatan bernuansa politik. "KPAI menyayangkan adanya pelibatan anak dalam kegiatan masyarakat yang mengandung unsur kegiatan politik," kata Komisioner KPAI Jasra Putra saat berbincang dengan wartawan di Jakarta, Senin (30/4).

Dia mengatakan anak-anak wajib dilindungi dari penyalahgunaan politik sesuai dengan Pasal 15 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Anak yang belum memiliki hak politik dan dilibatkan dalam kegiatan politik merupakan bentuk perlakuan salah.

Jasra Putra yang komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak itu, mengatakan dengan melibatkan anak dalam kegiatan bernuansa politik, anak ditempatkan pada situasi rawan kekerasan. Anak juga ditempatkan dalam situasi rawan konflik sehingga berpotensi terganggu tumbuh kembangnya akibat informasi dan perlakuan salah.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement