REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Parlemen Armenia gagal memilih perdana menteri baru setelah upaya mencari jalan keluar atas krisis politik yang terjadi selama beberapa minggu terakhir. Satu-satunya kandidat untuk jabatan perdana menteri adalah Nikol Pashinian (42 tahun), pemimpin oposisi yang menyerukan demonstrasi massal.
Pashinian, yang memimpin protes memaksa Perdana Menteri Serzh Sargsyan mengundurkan diri pekan lalu, mengatakan keputusan Partai Republik pada Selasa (1/5) kemarin tidak mendukung pencalonannya adalah upaya penghinaan terhadap rakyat.
Dia disambut oleh kerumunan gembira puluhan ribu di pusat Yerevan, ibukota, setelah kehilangan suara. Pashinyan mengatakan bahwa mulai Rabu (2/5) pagi, para pendukungnya akan meluncurkan pemogokan umum dan memblokir jalan, stasiun kereta api dan bandara.
Dia mengatakan protes itu berlangsung tertib, dan meminta polisi untuk meletakkan perisai mereka dan bergabung dengan gerakannya.
Dari hasil survei, dirinya memiliki 45 suara dukungan, dan 55 suara yang menentang pencalonannya, termasuk Partai Republik yang secara terang-terangan menolak pencalonan Pashinian. Syuzanna Petrosyan, dari USC Institute of Armenian Studies, mengatakan kepada Aljazirah bahwa konstitusi menyediakan waktu tujuh hari untuk memilih kembali pemimpin baru, jika tidak parlemen akan dibubarkan dan pemilihan baru harus diadakan.
Pashinian telah mendapatkan dukungan dari semua faksi oposisi di parlemen tetapi membutuhkan suara dari anggota koalisi yang berkuasa untuk mendapatkan suara mayoritas. "Tuan Pashinyan, Anda anggota parlemen yang baik, tetapi tidak memenuhi syarat untuk menjadi perdana menteri," kata Arman Saghatelyan, seorang anggota Partai Republik Armenia, dalam pidatonya di parlemen.
Menjelang sidang, Pashinian mendesak para pendukung untuk turun ke jalan menekan parlemen agar dapat memilih dia sebagai perdana menteri. "Anda akan berpikir bahwa dalam situasi ini, Partai Republik mulai bermain kucing-dan-tikus dengan orang-orang," kata Pashinian.