REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Ekonomi dan Keuangan Wijayanto Samirin mengungkap asal mula diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 yang mengatur tentang penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA).
Menurut Wijayanto, pemerintah mulanya mencoba mengidentifikasi apa saja yang menjadi poin negatif Indonesia di mata investor. Pemerintah juga membandingkan apa saja keunggulan negara-negara pesaing Indonesia, yakni Malaysia, Vietnam, Filipina dan Thailand, yang tidak dimiliki Indonesia.
Dari hasil identifikasi tersebut, menurut Wijayanto, masalah TKA selalu muncul di urutan teratas kendala investasi di Tanah Air. Sementara, negara-negara pesaing sudah memberikan regulasi yang jauh lebih memudahkan untuk masuknya TKA melalui investasi.
"Tidak mungkin investor mau menanamkan dananya apabila dia tidak bisa menaruh orang-orangnya di sana," kata Wijayanto, dalam forum diskusi di Menara Kadin, Rabu (2/5).
Karena itu, ia kembali menegaskan, Perpres 20 bertujuan untuk mempermudah TKA yang dibutuhkan untuk masuk ke Indonesia, bukan untuk memperbanyak jumlah tenaga asing yang tidak dibutuhkan. Selain itu, menurut Wijayanto, Perpres 20 justru memungkinkan pengawasan atas TKA menjadi lebih mudah. Sebab, setiap pekerja asing di Indonesia wajib memiliki Kartu Tenaga Kerja Asing yang berfungsi sebagai kartu identitas mereka. "Kalau ada sweeping, akan lebih mudah teridentifikasi mana pekerja yang ilegal dan tidak."
Perpres 20 akan berlaku efektif mulai 26 Juni 2018. Sebelum aturan tersebut berlaku, Wijayanto menyarankan agar kementerian terkait segera menyusun peraturan yang memuat sanksi tegas bagi perusahaan yang melanggar aturan penggunaan TKA.
"Kami mendorong ada sanksi yang lebih ketat. Kalau di negara lain, sanksi yang diberikan bisa sampai membuat perusahaan bangkrut."
Dalam kesempatan yang sama, Presiden asosiasi pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat mengatakan, pihaknya sepakat bahwa pemerintah harus memudahkan masuknya investasi ke Indonesia demi membuka lapangan kerja baru. Namun, ia tak setuju jika pemerintah juga mempermudah persyaratan bagi orang asing untuk bekerja di Indonesia. Sebab, Mirah mengaku seringkali menjumpai banyaknya pelanggaran penggunaan tenaga kerja asing. "Negara begitu memudahkan orang asing untuk masuk. Sementara kita untuk urus KTP dan SIUP saja lama," kata dia.
Sementara, Ketua Umum himpunan pengusaha muda Indonesia (Hipmi) Bahlil Lahadalia tak ingin mempersoalkan keberadaan Perpres 20 Tahun 2018. Baginya, apa yang diatur dalam Perpres tersebut sudah tepat. Menurut Bahlil, yang menjadi hal krusial saat ini adalah mekanisme pengawasan tenaga kerja asing yang diatur melalui peraturan menteri, sebagai peraturan turunan atas Perpres 20.