REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof KH Said Aqil Siroj mengatakan, Islam merupakan agama wasathiyah (moderat) dan i'tidal (adil atau proporsional). Karena itu, Islam tidak mengenal ekstremisme, termasuk untuk tujuan-tujuan yang mengatasnamakan agama. Juga tidak ada paksaan dalam agama.
"Bagi Islam, perbedaan pendapat, kebinekaan budaya, keragaman ras dan suku, merupakan sesuatu yang niscaya," kata KH Said melalui keterangan tertulis kepada Republika saat menerima kunjungan Grand Sheikh al-Azhar Prof Ahmad Muhammad ath-Thayyib di kantor PBNU, Rabu (2/5) malam.
Ia menerangkan, manusia di mana pun tidak akan dapat menghindar dari keragaman. Yang paling masuk akal bisa dilakukan adalah saling menghormati perbedaan-perbedaan tersebut, tanpa menampik pentingnya menjalin persatuan dan kehidupan bersama secara harmonis.
Ia menyampaikan, menengok problem dunia saat ini, khususnya umat Islam di sejumlah negara di Timur Tengah seperti Pelestina, Suriah, Yaman, Mesir, Libya, Afganistan dan sekitarnya, PBNU prihatin atas konflik berdarah yang menelan banyak sekali korban. Penderitaan bukan hanya dari segi fisik dan material, melainkan juga berdampak pada aspek rohani dan spriritual.
"Suasana konflik membuat hawa permusuhan mudah disulut, termasuk melalui fitnah, hasut, dan isu-isu sentimen perbedaan identitas dan paham," ujarnya.
Ia menjelaskan, tanpa mengingkari adanya faktor ekonomi dan politik, PBNU juga perlu menyerukan kepada umat Islam untuk tidak mudah terpancing dengan isu perbedaan identitas dan paham yang sesungguhnya lumrah dalam kehidupan ini. Kaum Muslimin perlu mengendalikan ego kelompok masing-masing dan menggalang persatuan nasional.
Kaum Muslimin juga perlu membangun peradaban yang lebih baik bersama-sama. Spirit Islam wasathiyah menjadi modal kuat untuk keperluan ini. Menyinergikan roh keagamaan dan kebangsaan dalam satu jiwa sekaligus.
KH Said juga menjelaskan, Indonesia menjadi contoh yang baik tentang sudah tuntasnya perselisihan antara Islam dan nasionalisme. "Tanah air kita menunjukkan kenyataan bahwa seorang nasionalis bisa sekaligus menjadi Islamis, sementara seorang Islamis bisa sekaligus nasionalis," ujarnya.
Ia menyampaikan, karakter keberislaman di nusantara semacam ini adalah hasil dari pergulatan panjang sejarah. Wali Songo yang menggunakan pendekatan budaya dalam berdakwah, para ulama pendiri Republik Indonesia, hingga kiai atau tuan guru setia terhadap prinsip-prinsip moderatisme yang diajarkan para pendahulunya.