REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perluasan delik zina yang tercantum dalam Pasal 484 ayat (1) huruf (e) Rancangan Undang Undang Revisi Kitab Undang undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai harus diadakan. Anggota Komisi III DPR-RI Fraksi Partai Nasdem, Taufiqulhadi mengatakan salah satu sebabnya adalah hal itu merupakan bagian dari aspirasi umat Islam.
“Perluasan delik zina itu sebetulnya mengakomodir aspirasi sebagian besar masyarakat Indonesia yang beragama Islam yang dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Taufiqulhadi dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Kamis (5/5).
Dia mengatakan, adanya pemahaman masyarakat Muslim Indonesia ini tidak salah. Sebab, menurutnya, bila ditinjau lebih lanjut pada beberapa dokumen mengenai cikal bakal pemikiran pembentukan RKUHP ini, para perumus menginginkan untuk menampung segala bentuk hukum yang tidak tertulis.
Namun, dia juga mengatakan, walau aspirasi umat Islam bukan berarti bisa diambil secara utuh hukum zina persis seperti dalah hukum Islam. “Tapi sudah cukup jika memgakui bahwa zina tidak sesuai dengan nilai yang dianut umat beragama terutama umat Islam di Indonesia,” ungkapnya.
Dia yang juga anggota Panitia Kerja RKUHP itu lalu menjelaskan, perluasan delik zina dalam RKUHP memiliki pengaruh yang erat dari aspek hukum Islam. Hukum Islam sendiri melihat zina tidak hanya berlaku bagi mereka yang terikat perkawinan, melainkan juga bagi mereka yang tidak terikat perkawinan.
“Sikap ini merupakan konsistensi suatu sikap terhadap hasil resolusi seminar hukum nasional ke-I tahun 1963 yang juga merupakan forum yang melahirkan ide pembentukan KUHP nasional,” tuturnya.
Dia mengatakan, dalam ketentuan butir ke-8 Resolusi Seminar hukum nasional ke-I Tahun 1963, disebutkan bahwa, unsur-unsur hukum agama dan hukum adat dijalinkan dalam RKUHP.
Lebih jauh dia menjelaskan, pengaturan delik zina dalam RKUHP, sesungguhnya tidak hanya dimaksudkan untuk melindungi dan menjaga keutuhan ikatan perkawinan. Menutnya, pengaturan itu juga akan melihat lebih jauh fenomena degradasi moral di generasi muda.
“Dimana itu sangat berpotensi merusak tatanan nilai-nilai sosial masyarakat Indonesia,” ungkapnya.