Kamis 03 May 2018 21:41 WIB

Mantan Kadis Ini Diadili karena Korupsi Proyek Rehab RTLH

Kegiatan rehabilirasi RTLH tersebut mendapat anggaran sebesar Rp 1 miliar.

Rep: Issha Harruma / Red: Andi Nur Aminah
Rumah Tidak Layak Huni
Rumah Tidak Layak Huni

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Mantan Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng), Sumatra Utara, Mas Intan Aritonang, diadili. Dia didudukkan sebagai terdakwa dalam perkara dugaan korupsi pengadaan bahan bangunan rehabilitasi rumah tidak layak huni (RTLH) pada Dinsosnakertrans Tapteng Tahun Anggaran 2013.

Sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan tersebut digelar di Pengadilan Tipikor Medan, Rabu (3/5). Mas Intan Aritonang diadili bersama rekanan proyek, Gompis Bonar Simarmata.

Dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum (JPU) Rali Dayan Pasaribu menyebutkan, terdakwa Mas Intan Aritonang selaku Kepala Dinsosnakertrans Tapteng yang menandatangani Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPPA SKPD) Dinsosnakertrans pada tanggal 31 Oktober 2013. DPPA SKPD itu untuk kegiatan rehabilitasi rumah tidak layak hunipada program pemberdayaan fakir miskin, komunitas adat terpencil dan penyandang masalah kesejahteraan sosial.

Kegiatan tersebut mendapat anggaran sebesar Rp 1 miliar, termasuk di dalamnya untuk belanja material atau bahan baku bangunan sebesar Rp 854.008.100. Dalam proyek ini, terdakwa menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). "Proses penyediaan barang dan jasa pada pekerjaan rehabilitasi rumah tidak layak huni tahun 2013 adalah dengan proses lelang di mana terdakwa Gompis selaku wakil direktur CV Mantap ditetapkan sebagai pemenang," kata JPU Rali, Kamis (3/5).

JPU menyebutkan, dalam proyek tersebut, ada pengadaan bahan bangunan sebanyak 23 item untuk diberikan kepada 37 warga yang dianggap tidak mampu di wilayah Tapteng. Namun, dalam pelaksanaannya, terdakwa Gompis menyerahkan bantuan bahan bangunan hanya kepada 30 warga yang telah ditetapkan sebagai penerima.

"Pembayaran atas kegiatan tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pembayaran atas beban APBN/APBD tidak boleh dilakukan sebelum barang dan/atau jasa diterima," kata JPU dari KejariSibolga itu.

Akibat perbuatan terdakwa, berdasarkan audit dari Perwakilan BPKP Provinsi Sumut, negara diperkirakan mengalami kerugian sebesar Rp246.449.614. "Perbuatan terdakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 18 Ayat (1) huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1e," ujar JPU Rali. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement