REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Keputusan Partai Komunis Cina bertahan dengan teori politik Karl Marx masih sepenuhnya benar. Demikian disampaikan Presiden Xi Jinping menjelang peringatan 200 tahun kelahiran filsuf Jerman itu pada Sabtu (5/5).
Sejak berkuasa pada 2012, Xi, yang dinilai banyak pihak sebagai pemimpin Cina paling kuat sejak Mao Zedong, selalu mengatakan, Partai Komunis tidak boleh lupa terhadap akar sosialis mereka sebagai upaya mengembalikan kejayaan bangsa Cina.
Di Balai Agung Rakyat di Beijing pada Jumat, Xi mengatakan, penulisan Marxisme di dalam bendera Partai Komunis Cina adalah sepenuhnya benar. "Upaya tanpa ragu untuk memromosikan pentingnya Marxisme dan pembaharuan terhadapnya adalah sepenuhnya benar," ujarnya.
Xi juga memerintahkan semua anggota partai membaca semua karya Marx dan memahami teori Marx sebagai filsafat hidup dan "perjalanan kerohanian".
Pidato Xi tersebut adalah bagian dari propaganda sepanjang satu pekan oleh media pemerintah. Banyak gambar kartun yang menunjukkan bagaimana teori Marx masih relevan dalam kehidupan modern Cina dan generasi selanjutnya.
Saat ini, Cina, sebagai negara terbesar yang mengidentifikasi diri sebagai negara sosialis, tanpa ragu-ragu menunjukkan diri sebagai masyarakat kapitalis modern -- yang ditandai dengan konsumsi berlebihan dan lebatnya jurang antara elitr urban dengan kaum miskin pedesaan.
Kontradiksi antara retorika partai dan kenyataan sosial itu membuat banyak analis menyimpulkan bahwa Partai Komunis Cina tidak lagi mengindahkan Marxisme.
Meski demikian, Xi mengaku berkomitmen penuh terhadap ideologi partai dan memberlakukan kembali sesi pelajaran yang mengingatkan orang pada era Mao. Dia juga menekankan pentingnya bagi Cina untuk terus percaya pada sejarah revolusi dan sistem politik yang dianut.
"Saya berpendapat bahwa kita harus mulai menerima kenyataan bahwa Xi Jinping benar-benar pengikut Marx dan Marxisme," kata Jude Blanchette, pengamat Cina dari Crumpton Group, yang merupakan perusahaan konsultan bisnis berkedudukan di Washington.
Penekanan pada Marxisme membuat perbedaan ideologi semakin lebar antara Cina dengan negara-negara kapitalis demokrasi Barat di tengah beberapa kejadian besar seperti krisis finansial global tahun 2008 dan terpilihya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat.
"Dengan menerapkan ajaran Marxisme secara lebih ketat, Partai Komunis China berupaya menarik jarak dengan model ekonomi politik aternatif di Amerika Serikat, yang gagal," kata Blanchette.