Jumat 04 May 2018 21:51 WIB

HNW: Islam Indonesia Disebut Radikal? Belajar Sejarah Lagi

HNW mengupas peran penting ulama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bilal Ramadhan
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid
Foto: Dokumentasi
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) memberikan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI kepada ratusan guru serta pelajar SMP IT Baitussalam Prambanan Jawa Tengah. Acara yang digelar di Gedung Nusantara V, Kompleks Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Jumat (4/5) diikuti secara antusias, apalagi saat HNW memberikan materi perihal sejarah perjuangan Indonesia.

Salah satu materi yang diberikan, HNW memang mengupas soal peran serta kiprah maha penting yang dilakukan para ulama dan umat Islam dalam sejarah pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Yakni pertama, keluarnya fatwa jihad oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari yang berisikan ijtihad bahwa perjuangan membela tanah air sebagai Jihad Fi Sabilillah. Bila tewas dalam arena jihad maka akan syahid dan bila berkhianat maka hukumannya mati.

Kedua, keluarnya Mosi Integral Natsir yang ditujukan di Sidang Pleno Parlemen Sementara Republik Indonesia Serikat (RIS) tanggal 3 April 1950 oleh Menteri Penerangan RIS Mohammad Natsir seorang tokoh Islam terkemuka, pendiri sekaligus pemimpin Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.

Dikatakan HNW, mosi integral ini adalah gagasan Natsir agar keluar keputusan parlemen mengenai kesatuan negara Indonesia. Mosi ini tidak tergagas dan keluar begitu saja. Terjadinya perdebatan di Parlemen Sementara RIS adalah merupakan titik kulminasi aspirasi masyarakat Indonesia yang kecewa terhadap hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag, Belanda antara lain, Belanda mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai negara merdeka dan masalah Irian Barat akan dirundingkan kembali.

Pihak yang termasuk menolak hasil KMB adalah Natsir yang waktu itu Menteri Penerangan (Menpen) dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim. Natsir menolak jabatan Menpen di RIS dan memilih berkonsentrasi memimpin Fraksi Masyumi di DPR-RIS.

Salah satu alasan Natsir menolak jabatan itu adalah karena ia tak setuju Irian Barat tak dimasukkan ke dalam RIS dan ia menginginkan Indonesia bersatu semua. Mosi diterima baik oleh pemerintah dan PM Mohammad Hatta menegaskan akan menggunakan mosi integral sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan.

Mosi ini memulihkan keutuhan bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sebelumnya berbentuk serikat, sehingga ia diangkat menjadi perdana menteri oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1950. Inilah titik puncak bersatunya kembali Indonesia sampai saat ini menjadi NKRI.

Inilah peran sejarah yang sangat penting untuk dipahami semuanya termasuk santri-santri, generasi muda dan kalangan muda Islam lainnya. Sehingga kita umat Islam dalam memainkan peran umat Islam di Indonesia ini tidak gamang, tidak bingung oleh berbagai tuduhan, fitnah bahwa Islam anti-Indonesia dan radikal karena sejarah telah mencatat bahwa begitu besarnya peran ulama, tokoh Islam dan umat Islam Indonesia bagi perjuangan kemerdekaan dan bersatunya Indonesia.

"Jadi jika ada yang masih mengatakan buruk seperti itu, dia harus kembali mempelajari sejarah Indonesia,” ujar HNW.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement