REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz menilai munculnya aturan larangan menjadi calon anggota legislatif bagi narapidana korupsi yang dibuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) didasari atas bentuk ketidakberanian partai politik untuk melakukan reformasi dan tata kelola parpol. Reformasi ini tidak dilakukan dalam 13,5 tahun terakhir ini.
"Selama 13,5 tahun lebih dan dua rezim berkuasa, itu tidak pernah bicara reformasi dan perbaikan tata kelola parpol," kata Donal akhir pekan lalu.
Hal tersebut berbeda dengan penyelenggara pemilu seperti KPU atau UU Pemilu yang selalu diperbaiki setiap jelang Pemilu. Atau seperti Bawaslu yang dibuat permanen di daerah, atau penguatan kewenagan Bawaslu sampai pada level mendikualifikasi paslon yang terbukti melakukan pelanggaran-pelanggaran.
"Tapi enggak ada itu, kita berbicara UU Parpol diperbaiki. Desain bagaimana partai untuk menentukan siapa yang akan dicalonkan sebagai kepala daerah enggak pernah diatur," katanya.
Donal menambahkan, berbicara soal calon anggota legislatif sebenarnya domain parpol untuk menentukan siapa orang yang akan diusung jadi caleg, DPRD Kabupaten Kota, dan DPR RI. Namun Donal menyayangkan di level parpol sendiri parpol tidak pernah membuka diskusi siapa yang akan mereka usung caleg di level partai.
"Idealnya adalah ini di domain parpol. tapi nyatanya dialektika itu nyaris tidak terbangun, di ruang internal partai dan di ruang publik," ujarnya.
Menurutnya penting bagi seluruh komponen masyarakat dan penyelenggara untuk memperbaiki demokrasi Indonesia, salah satunya dengan mereformasi tata kelola parpol.