REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Memasuki usia ke 71 Pelajar Islam Indonesia (PII) terus berupaya menciptakan pelajar yang berkeadaban. Setidaknya seorang pelajar dibutuhkan dua identitas yakni keislaman dan keindonesiaan.
Pendiri Pelajar Islam Indonesia (PII), Ahmad Muzani mengatakan selama ini masalah pelajar Islam Indonesia mengalami dua identitas tersebut.
Masalah pelajar adalah persoalan identitas, keagaman dan keindonesian. Saya kira organisasi ini (PII) memiliki peran penting untuk menegaskan identitas keindonesia dan keislaman," ujarnya kepada Republika.co.id, Jakarta, Senin (7/5).
Menurutnya, identitas keislaman berbasis keyakinan keagamaan sementara keindonesia berbasis keyakinan kebangsaan.
"Dua itu harus menjadi satu terkombinasi dalam pelajar sehingga masa depan yang agama saleh dan keindonesia," ucapnya.
Di sisi lain, ia menyebut pelajar Indonesia mengalami penurunan dalam mencari sumber ilmu pengetahuan. Mereka mengandalkan sosial media untuk menambah wawasan.
"Praktik ilmu termudahkan sosial media, akibatnya cinta kepada guru, perpustakan dan dialog menjadi rendah dan cara mencintai ilmu kearifan jadi kurang karena ilmu tidak didapatkan dari seorang yang ahli di bidangnya, tapi sosial media, jadi tidak memiliki refrensi yang kuat," ucapnya.
Tak hanya itu, kegiatan seperti diskusi juga semakin luntur. Hal ini menjadi mudah karena pembicaraan melalui sosial media.
"Ini menjadi tren, tapi bagaimana pelajar dapat mensiasati cara menguasai ilmu. Harus memperbanyak diskusi, mencintai ahli pakar tradisi ini harus dihidupkan kembali," ungkapnya.