REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU -- Pemerintah menyiapkan Rancangan Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN PPM). Rencana ini sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kualitas dan Laboratorium Lingkungan (P3KLL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Herman Hermawan dalam keterangan tertulis diterima di Bengkulu, Selasa (8/5) menyebutkan, sesuai butir keenam rumusan Workshop Merkuri P3KLL, dalam rancangan Peraturan Presiden tersebut, salah satu pasal memberikan amanah untuk membentuk Sekretariat Nasional.
RAN PPM ini, menurut dia, juga akan mencakup empat bidang prioritas. Yaitu Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK), manufaktur, energi dan kesehatan. Pada butir pertama rumusan disebutkan pemerintah Indonesia pada 20 September 2017 menandatangani UU Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury (Pengesahan Konvensi Minamata mengenai Merkuri). Tujuan konvensi Minamata adalah untuk melindungi kesehatan manusia dari emisi dan lepasan merkuri dari sumber antropogenik.
Salah satu kewajiban setiap negara adalah memfasilitasi pertukaran informasi terkait dengan penanganan merkuri di negaranya. Penanganan merkuri harus berdasarkan ketentuan konvensi, termasuk teknologi alternatif yang digunakan untuk menggantikan kegunaan merkuri.
Butir kedua, pengelolaan merkuri di Indonesia memerlukan strategi menyeluruh, berdasarkan IPTEK berbasis bijih (ore based) yang multidisipliner dan integratif, kelembagaan yang efektif dan partisipasi masyarakat. P3KLL, Badan Litbang dan Inovasi KLHK merencanakan pembentukan forum atau komisi penelitian dan pemantauan merkuri. Bekerjasama dengan seluruh pemangku kepentingan dalam mengurangi dan menghapuskan produksi, peredaran dan penggunaan merkuri dalam mendukung program Indonesia bebas merkuri pada 2030.
Sementara butir ketiga, menyebutkan sumber merkuri di Indonesia berasal dari importasi dan produksi dalam negeri yaitu pengolahan batu sinabar dan produk samping dari sektor migas. Sektor PESK merupakan kontributor terbesar emisi merkuri ke lingkungan, sebesar 57,5 persen (sumber ITB dan BaliFokus 2012).
Butir keempat, perlu dilakukan pengembangan teknologi alternatif pengolahan emas tanpa merkuri yang relatif lebih aman di PESK. Teknologi pengolahan yang diusulkan oleh BPPT didasarkan pada karakteristik bijih, kemamputerapan teknologinya bisa berbeda di masing-masing lokasi.
Pada butir kelima, penanganan pencemaran merkuri dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi bioremediasi dengan mempekerjakan mikroba dan atau jenis tumbuhan yang sesuai. Terakhir, masih terdapatnya kesenjangan dan kekosongan hukum pada peraturan terkait bahan berbahaya dan beracun (B3) di berbagai sektor, yang menghambat tercapainya tujuan dalam pelaksanaan ratifikasi konvensi Minamata.
Workshop Merkuri telah dilaksanakan pada Kamis (3/5), dihadiri sekitar 100 orang dari berbagai instansi terkait. Di antaranta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Civil Society Organization (CSO), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), akademisi, dan Pemerintah Daerah setempat.
Kepala Badan Litbang dan Inovasi (BLI) KLHK Dr Agus Justianto saat workshop mengatakan pentingnya dukungan para pihak untuk launching Pusat Riset Merkuri. Ini dalam rangka terwujudnya rencana aksi pengurangan dan penghapusan merkuri di Indonesia.