REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Calon wakil presiden dari kalangan Islam moderat banyak dilirik dalam Pilpres 2019. Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Kuskridho Ambardi mengatakan hal ini tak lepas dari anggapan bahwa tokoh dari kelompok tersebut berpotensi mengurangi ekstremitas.
”Selain itu, tokoh Islam moderat dianggap bisa menjadi pancang tengah agar kelompok-kelompok di Indonesia tidak semakin terbelah,” kata Dodi, sapaan Kuskridho dalam rilisnya, Selasa (8/5).
Tanggapan Dodi disampaikan menyusul mulai santernya disebut nama Din Syamsuddin, yang saat ini menjabat Utusan Khusus Presiden RI untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban (UKP-DKAAP), sebagai salah satu tokoh yang layak ditimbang sebagai cawapres. Selain dianggap mewakili golongan Islam moderat, mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat itu dijagokan juga lantaran memiliki jaringan internasional yang pro gerakan moderasi Islam.
Dodi mengatakan, keinginan terhadap kemunculan tokoh Islam moderat, siapa pun orangnya, memiliki relevansi dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Namun, pengajar Fisipol UGM itu mengingatkan, keinginan masyarakat sebenarnya tidak semata terkait dengan latar belakang ketokohan dari si kandidat.
Lebih jauh, dari segi kapasitas, kandidat cawapres sebaiknya diisi oleh mereka yang mampu melihat dinamika perkembangan makro ekonomi di tingkat domestik dan internasional. ”Selain itu, cawapres juga perlu memiliki integritas memadai dan relatif bersih dari korupsi. Dan yang terpenting, bisa diterima oleh publik,” tegasnya.
Meskipun dari segi politik kandidat cawapres berbasis parpol dianggap lebih menguntungkan dibandingkan dengan yang nonparpol, namun Dodi tetap mengapresiasi munculnya nama cawapres dari kalangan nonparpol. Apalagi, peluang tersebut saat ini masih terbuka lebar.
"Keuntungan cawapres yang berpartai, dia punya leverage (pengaruh) di parlemen sehingga bisa lebih mudah diterima. Sebab, anggota parlemen umumnya partisan atau mengejar ego mereka sendiri,” jelas Dodi.