Kamis 10 May 2018 20:27 WIB

Mengapa Sampai Terjadi Perampasan Senjata? Ini Kata Kapolri

Kapolri akui ada kelemahan sehingga terjadi perampasan senjata di Mako Brimob.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Andi Nur Aminah
Kapolri Jenderal Tito Karnavian memberikan keterangan usai meninjau lokasi kerusuhan antara narapidana dan petugas kepolisian di Rutan cabang Salemba, Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Kamis (10/5).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Kapolri Jenderal Tito Karnavian memberikan keterangan usai meninjau lokasi kerusuhan antara narapidana dan petugas kepolisian di Rutan cabang Salemba, Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Kamis (10/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapolri Jenderal Polisi Muhammad Tito Karnavian mengakui adanya titik kelemahan dalam pengamanan senjata sehingga terjadi perampasan oleh napi terorisme dalam insiden penyanderaan di Mako Brimob. Insiden ini menyebabkan lima anggota Polri tewas.

Tito menjelaskan, lima anggota tersebut bukanlah tim penindak atau pemukul. Lima anggota ini adalah tim pemberkasan yang bertugas melakukan pemberkasan napi terorisme untuk dipersiapkan menuju persidangan. Pemberkasan dilakukan di sebuah ruangan di Mako Brimob dimana senjata sitaan dari para napiter juga disimpan.

"Tapi mereka juga punya senjata perorangan, itu yang dirampas. Disamping itu ada juga barang bukti senjata yang ditaruh di situ untuk ditunjukkan kepada tersangka, itu juga yang dirampas. Selama ini mungkin dianggap enggak ada masalah, sehingga dilaksanakan, itu sebetulnya ada kelemahan, itu yang dirampas senjata itu," kata Tito di Mako Brimob Kelapa Dua, Kamis (10/5) petang.

Adanya perampasan itu pun membuat Polri memberi waktu sampai dengan Kamis (10/5) pagi lebih kurang dari 24 jam agar para napiter menyerah. Hal ini, kata Tito diikuti napiter yang akhirnya menyerahkan diri di Kamis pagi.

"Ini memang standar internasional kita, juga standar memberikan warning dalam kasus-kasus penyanderaan. Target terpenting adalah sandera hidup, kan mereka menyandera satu orang," katanya.

Pada Rabu tengah malam sebelumnya, satu anggota polisi yang disandera berhasil dikeluarkan. Tito mengungkapkan, di dalam teori penanganan penyanderaan, indikator keberhasilan operasi penyanderaan itu adalah kalau sanderanya hidup.

"Kalau sanderanya mati, gagal. Sanderanya alhamdulillah bisa hidup yaitu Brigadir Iwan Sarjana. Itu berarti sukses," kata Tito mengklaim. Sayangnya lima orang polisi juga tewas dibunuh oleh para napi terorisme.

Kejadian bermula saat Selasa (8/5) petang, terjadi keributan antara napiter dan petugas. Polisi menyebut hal ini karena miskomunikasi soal makanan napi yang dikirim pengunjung. Namun, kericuhan justru terjadi di mana sembilan petugas menjadi korban. Lima petugas tewas, tiga terluka, satu disandera. Satu korban sandera bebas pada Rabu (9/5) tengah malam.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement