REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo meminta Polri melakukan evaluasi pengamanan bagi narapidana terorisme (Napiter). Menurutnya, pengamanan ekstra maksimal seharusnya diterapkan terhadap napiter, menyusul kerusuhan yang terjadi di Rutan Cabang Salemba di wilayah Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, sejak Selasa (8/5) malam kemarin.
"Pengamanan ekstra maksimal itu harus menutup kesempatan para napi terorisme memiliki atau menguasai peralatan sesederhana apapun yang dapat digunakan untuk membobol rutan atau mengancam para petugas rutan," ujarnya, Kamis (10/5).
Bambang mengatakan, fakta bahwa gugurnya petugas kepolisian dari peristiwa rusuh napi terorisme tentu akan memunculkan tanda tanya berbagai pihak, khususnya terkait pengamanan di Rutan Mako Brimob. Sebab, para napi terorisme itu dapat menguasai senjata dan menyandera petugas Polri yang berjaga.
"Dari mana atau bagaimana prosesnya sehingga para napi teroris itu bisa memiliki atau menguasai senjata tajam? Masalah ini tentu harus diselidiki. Siapa yang membawa dan memberikan senjata tajam kepada para Napi itu," katanya pria yang akrab disapa Bamsoet itu.
Menurut Bamsoet, penguasaan senjata tajam oleh para narapidana teroris itu juga dapat menjadi pertanda bahwa sel para teroris di Rutan Cabang Salemba di Mako Brimob itu belum menerapkan standar pengamanan ekstra maksimum. Padahal, Politikus Golkar itu mengatakan standar pengamanan ekstra maksimum diperlukan untuk narapidana terorisme.
"Untuk membatasi interaksi napi dengan rekan mereka atau jaringan sel-sel teroris di luar Rutan," ujarnya.
Bamsoet menambahkan, pengamanan ekstra maksimum juga semestinya mewajibkan para keluarga atau rekan para nanarapida membatasi barang-barang bawaan yang ditujukan ke para narapidana saat melakukan kunjungan.
Terlepas dari itu, Bamsoet memberi acungan jempol kepada Polri yang berhasil mengatasi peristiwa tersebut dengan pendekatan lunak dan sandera berhasil dibebaskan disertai evakuasi 155 terpidana teroris ke LP Pasir Putih Nusa Kambangan. Ia juga mendoakan lima anggota Polri yang gugur dalam peristiwa tersebut.
"Mengingat lima korban tewas secara mengenaskan ada di pihak Polri dan Polri mampu menahan diri dari kemarahan. Sementara dipihak penyandera ada 156 teroris terlatih dengan doktrin jihad dan siap mati syahid," ujar Mantan Ketua Komisi III DPR itu.
Kapolri Jenderal Polisi Muhammad Tito Karnavian mengakui adanya titik kelemahan dalam pengamanan senjata sehingga terjadi perampasan oleh napi terorisme dalam insiden penyanderaan di Mako Brimob. Insiden ini menyebabkan lima anggota Polri tewas.
Tito menjelaskan, lima anggota tersebut bukanlah tim penindak atau pemukul. Lima anggota ini adalah tim pemberkasan yang bertugas melakukan pemberkasan napi terorisme untuk dipersiapkan menuju persidangan. Pemberkasan dilakukan di sebuah ruangan di Mako Brimob dimana senjata sitaan dari para napiter juga disimpan.
"Tapi mereka juga punya senjata perorangan, itu yang dirampas. Disamping itu ada juga barang bukti senjata yang ditaruh di situ untuk ditunjukkan kepada tersangka, itu juga yang dirampas. Selama ini mungkin dianggap enggak ada masalah, sehingga dilaksanakan, itu sebetulnya ada kelemahan, itu yang dirampas senjata itu," kata Tito di Mako Brimob Kelapa Dua, Kamis (10/5) petang.
(Baca juga: Mengapa Sampai Terjadi Perampasan Senjata? Ini Kata Kapolri)
Seperti diketahui, kerusuhan yang dilakukan napiter terjadi di Rutan Mako Brimob pada Selasa (8/5) lalu. Kejadian bermula dari keributan antara napiter dan petugas. Polisi menyebut hal ini karena miskomunikasi soal makanan napi yang dikirim pengunjung. Namun, kericuhan justru terjadi di mana sembilan petugas menjadi korban. Lima petugas tewas, tiga terluka, satu disandera. Satu korban sandera bebas pada Rabu (9/5) tengah malam.