REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai peristiwa kerusuhan di Rumah Tahanan cabang Salemba, Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, masih menyisakan pertanyaan besar. Di lokasi yang dijaga oleh petugas terlatih dan memiliki penjagaan ketat itu ternyata dapat bobol juga.
"Peristiwa ini masih menyisakan pertanyaan besar karena mengingat Rutan Mako Brimob sebagai simbol keamanan dan pengamanan dari penegakan hukum," ungkap Koordinator Kontras Yati Andriyani kepada Republika.co.id, Jumat (11/5).
Menurutnya, Rutan Mako Brimob dijaga oleh petugas terlatih dan memiliki penjagaan yang ketat tetapi dengan mudah dibobol. Tak hanya itu, senjata mereka dapat dirampas dan menjadi target kekerasan. "Oleh karenanya pemerintah segera melakukan evaluasi menyeluruh secara transparan atas peristiwa tersebut," jelasnya.
Dalam peristiwa itu, kata Yati, penting untuk melihat penyebab peristiwa secara menyeluruh, termasuk faktor-faktor yang memberi peluang peristiwa tersebut bisa terjadi. Kemudian, memastikan ada tidaknya unsur-unsur kelalaian, standar prosedur yang diabaikan, sumber daya manusia yang tidak mencukupi atau infrastruktur tidak memadai juga perlu diperhatikan.
"Dan tindakan-tindakan lain yang berelasi yang dapat memicu terjadi peristiwa yang tidak diinginkan," ungkapnya.
Untuk itu, lanjut Yati, pihaknya mendorong Kepolisian RI, Kemenkumham RI, BNPT, Komnas HAM, Ombudsman RI, Komplonas, BNPT untuk bekerjasama melakukan evaluasi menyeluruh sesegera mungkin terhadap persoalan-persoalan tersebut.
"Kami juga mengingatkan, pemerintah sudah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (UNCAT) melalui UU No 5 Tahun 1998," tuturnya.
Dengan demikian, Yati merasa seharusnya semua tempat penahanan bisa diawasi. Untuk itu pula, penting dilakukan evaluasi pengelolaan tempat-tempat penahanan. Kontrol dan akses lembaga independen terhadap tata kelola rutan untuk mencegah terjadinya risiko penyalahgunaan, risiko penyiksaan dan lain-lain.
Ia menambahkan, penting juga untuk memberi penguatan dan dukungan dalam pengelolaan tempat tempat penahanan. Dalam hal ini, kata Yati, masalah besar tempat penahanan yang telah melampaui kapasitas masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah, dan metode atau pendekatan penempatan tahanan masih belum berjalan maksimal.
Tak lupa Yati menyatakan turut berduka cita kepada para korban yang meninggal dan luka-luka dalam peristiwa di Rutan Mako Brimob, pada 9 Mei lalu. Menurutnya, Kontras sangat menyayangkan kejadian tersebut bisa terjadi dan memakan korban.
"Peristiwa ini sudah seharusnya menjadi pembelajaran penting, untuk itu harus dipastikan adanya langkah-langkah untuk mencegah keberulangan peristiwa serupa terulang kembali," sambungnya.
Insiden kerusuhan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok pada Rabu (9/5) mengundang duka dan beragam keprihatinan. Polisi menyebut lima anggota polisi dan seorang narapidana teroris tewas dalam insiden tersebut. Polisi menegaskan tak melakukan negosiasi dengan narapida.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Mohammad Iqbal membantah adanya kaitan antara insiden penyanderaan yang terjadi di Markas Korps Brimob Kelapa Dua dengan ISIS. Iqbal bersikukuh, hingga saat ini penyebab kericuhan berbuntut penyanderaan itu masih soal makanan.
Baca juga, Ini Pemicu Insiden di Mako Brimob Menurut Polri.
Sekretaris PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menyampaikan, Muhammadiyah berduka cita kepada keluarga korban wafat dalam kerusuhan di Mako Brimob. Muhammadiyah sangat prihatin atas kekerasan yang terjadi di Mako Brimob.
Kejadian itu merupakan tamparan keras bagi aparatur keamanan, khususnya Brimob yang selama ini dianggap sebagai pasukan elit kepolisian. ''Kapolri harus segera mengevaluasi kinerja jajarannya, termasuk penggunaan Mako Brimob sebagai tempat penahanan para tersangka tindak pidana,'' tulis Mu'ti melalui keterangan tertulis pada Kamis (10/5).
Tidak ada satupun negara di dunia ini yang terbebas dari ancaman terorisme. Peristiwa di Mako Brimob hendaknya menjadi peringatan dan pelajaran bahwa terorisme masih merupakan ancaman bagi bangsa dan negara Indonesia. ''Terorisme tidak ada kaitan dengan ajaran agama tertentu,'' ungkap Mu'ti.
Terorisme adalah ekspresi perlawanan dari mereka yang merasa diperlakukan tidak adil. Motifnya bisa karena ekonomi, politik, kebudayaan, identitas, dan ideologi baik agama maupun politik.