REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga kajian hukum yang bernama Insitute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta pemerintah untuk membentuk tim penyelidik. Hal ini untuk mengevaluasi penyebab terjadinya kerusuhan di Rutan Salemba Cabang Mako Brimbob, Jakarta yang terjadi sejak Selasa (8/5) yang berakhir pada Kamis (10/5).
"Hasil-hasil tim penyelidik tersebut dapat menjadi pedoman bagi pemerintah untuk melakukan penanganan bagi tahanan dan narapidana yang berkategori 'high risk' (berisiko tinggi) dan penanganan pengelolaan Rutan dan Lapas yang tidak langsung di bawah kendali Kementerian Hukum dan HAM di masa depan," kata Direktur Eksekutif ICJR, Anggara melalui siaran persnya di Jakarta, Jumat (11/5).
Dia mengatakan hasil-hasil penyelidikan tersebut juga disampaikan kepada masyarakat sebagai bentuk akuntabilitas pemerintah terhadap apa yang terjadi di dalam Rutan Salemba Cabang Mako Brimob. ICJR juga meminta, agar perisitiwa kerusuhan di Rutan Salemba Cabang Mako Brimob ini tidak menjadi alasan bagi pemerintah dan DPR untuk mempercepat pembahasan RUU Terorisme.
"Salah satu ganjalan dalam pembahasan RUU Terorisme adalah mengenai ketiadaan definisi Terorisme. ICJR meminta agar dalam pembahasan RUU Terorisme, definisi terorisme ditetapkan dengan hati-hati karena merupakan pintu masuk untuk mengatur materi muatan terkait tindak pidana terorisme," kata dia.
Jika tidak, kata Anggara, maka peluang penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan dalam penegakan hukum terorisme akan terbuka lebar. Kerusuhan yang terjadi di Rutan Salemba Cabang Mako Brimob membuat enam orang meninggal dunia, dimana lima dari anggota kepolisian dan sati orang adalah tahanan kasus terorisme.
ICJR menyampaikan turut berduka cita dan bela sungkawa terhadap para keluarga korban dalam kerusuhan tersebut. ICJR juga menyampaikan pujian kepada Kepolisian Republik Indonesia yang telah menangani kerusuhan tersebut secara dingin dan mengedepankan profesionalisme, dan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Sementara itu, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jend. Tito Karnavian, menyebutkan bahwa salah satu masalah yang mengakibatkan terjadinya kerusuhan tersebut adalah karena adanya kepadatan penghuni di Rutan Salemba Cabang Mako Brimob. Rutan yang idealnya diisi oleh 64 orang namun dihuni oleh 155 orang tahanan/narapidana kasus terorisme.
Sejak awal, Rutan Salemba Cabang Mako Brimob tidak didesain sebagai rutan atau lapas untuk diisi tahanan yang dalam kategori berisiko tinggi. ICJR memandang bahwa persoalan kepadatan penghuni lapas dan rutan di Indonesia adalah persoalan akut yang tidak kunjung mendapatkan respon memadai dari pemerintah.
Kerusuhan yang terjadi di Rutan Salemba Cabang Mako Brimob juga berpotensi terjadi di berbagai rutan dan lapas di Indonesia apabila pemerintah tidak segera merespon dengan baik dalam bentuk reformasi pemidanaan dan reformasi lapas dan rutan. Alih-alih melakukan reformasi pemidanaan, ICJR memandang pemerintah terus menerus mengeluarkan tindak pidana baru dengan ancaman pidana penjara yang tinggi dalam kebijakan pemidanaan termasuk dalam RKUHP yang saat ini sedang dibahas antara pemerintah dan DPR.