REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar menilai adanya tragedi kerusuhan narapidana teroris di Rumah Tahanan (Rutan) Mako Brimob harus membuat institusi Polri melakukan pembenahan terkait fungsi rutan yang berada di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat itu.
"Polri perlu melakukan pembenahan dalam soal fungsionalisasi rutan di Markas Brimob sudah tepat atau tidak," kata dia kepada Republika.co.id, Jumat (11/5).
Pembenahan tersebut, lanjut Bambang, juga menyangkut sistem pengawasan, pertanggungjawaban, dan pengamanannya bagaimana menurut standar Polri, Brimob atau lembaga pemasyarakatan. "Dan siapa yang seharusnya menjaga rutan tersebut, lembaga pemasyarakatan, Mabes Polri atau Brimob," papar dia.
Selain itu menurut Bambang, bukan tidak mungkin penyebab rusuh di rutan Mako Brimob itu lantaran ada petugas yang lalai. "Dimungkinkan ada petugas yang tidak waspada atau lalai," tutur dia.
Polri, papar Bambang, juga perlu memeriksa latar belakang atau duduk perkaranya sampai peristiwa itu terjadi. Hal ini merupakan pelajaran yang penting untuk memperbaiki organisasi khususnya Brimob maupun densus 88.
"Jika memang ada aparat yang salah dalam menjalankan tugas harus diberikan sanksi secara berjenjang karena melihat jatuhnya korban lima aparat kepolisian tersebut," ucapnya.
Sebelumnya, telah terjadi kericuhan di rutan napi terorisme di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Selasa (8/5) malam. Kericuhan ini menyebabkan 5 anggota Polri tewas karena luka parah yang dialami. Total, ada 165 napi teroris yang ditahan di rutan tersebut.
Pada Kamis (10/5), sebanyak 155 napi terorisme dipindahkan ke Lapas Batu dan Lapas Pasir Putih di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Di lapas ini, satu sel dihuni hanya satu narapidana.
Model penahanan seperti ini dinilai akan membuat narapidana kesulitan menjalin komunikasi ataupun konsolidasi dengan narapidana lainnya. Narapidana di sana dipisahkan tembok pembatas, dan hanya memungkinkan berkomunikasi dengan petugas.