REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu tak ingin kerusuhan seperti yang terjadi di Rumah Tahanan Cabang Salemba, Mako Brimob, Depok, tak terjadi lagi, termasuk untuk TNI. Menurutnya, kejadian itu harus dijadikan pelajaran meski pahit.
"Itu pelajaran bagi polisi walaupun pahit. Tapi, itu pelajaran bagi TNI juga. Jangan sampai terjadi lagi yang kedua kalinya. Sama TNI dengan polisi," tutur Ryamizard di Kemenhan, Jakarta Pusat, Jumat (11/5).
Ryamizard menambahkan, ke depannya perlu ada aturan yang mengatur tentang peran TNI dalam menangani tindak terorisme. Menurutnya, jangankan TNI, hansip bahkan semua orang bisa terlibat dalam penanganan terorisme.
"Kenapa tentara tidak bisa perannya? Itu nanti diatur. Belum diatur sekarang," terangnya.
Menurutnya, yang perlu diatur antara lain kapan TNI dapat turun tangan ketika ada tindak terorisme, kapan polisi yang turun tanpa ada TNI, kapan TNI yang turun tanpa ada polisinya, dan kapan harus turun bersama-sama. "Saya minta tak ada ego sektoral. Jangan ada keinginan-keinginan tertentu. Teroris musuh bersama, bukan musuh satu orang saja. Jadi jangan sampai, 'Oh ini musuh ini, musuh itu'," jelasnya.
Insiden kerusuhan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok pada Rabu (9/5) mengundang duka dan beragam keprihatinan. Polisi menyebut lima anggota polisi dan seorang narapidana teroris tewas dalam insiden tersebut. Polisi menegaskan tak melakukan negosiasi dengan narapida.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Mohammad Iqbal membantah adanya kaitan antara insiden penyanderaan yang terjadi di Markas Korps Brimob Kelapa Dua dengan ISIS. Iqbal bersikukuh, hingga saat ini penyebab kericuhan berbuntut penyanderaan itu masih soal makanan.
Terkait rusuh di Mako Brimob, Tim Pengacara Muslim (TPM) juga angkat bicara perihal pemicu bentrokan berdarah pada Selasa (10/5) malam WIB. Menurut TPM, salah satu pemicu kerusuhan adalah karena hak-hak kemanusian.
"Mulai dari penangkapan, penahanan sampai mereka disidangkan dan ditahan itu banyak hal yang dirasakan sebagai pelanggaran hak-hak asasi mereka," jelas anggota TPM Ahmad Michdan, dalam jumpa pers di Kantor Mer C, Jakarta Pusat, Kamis (10/5).