REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Irak mengadakan pemilihan parlemen pertama sejak negara itu mengumumkan kemenangan atas kelompok ekstremis ISIS. Pemilihan dijadwalkan pada Sabtu (12/5) esok.
Dalam pemilihan parlemen ini, ada 329 kursi yang diperebutkan oleh hampir 7.000 kandidat. Mereka berasal dari puluhan aliansi politik yang berbeda.
Namun, banyak pihak yang pesimis terkait adanya perombakan pemerintahan. Aliansi paling kuat yang diprediksi memenangkan kursi terbanyak dipimpin oleh partai-partai yang sama yang telah mendominasi politik Irak sejak 2003.
Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi berusaha untuk mempertahankan kekuasaannya. Tetapi ia menghadapi persaingan ketat dari pendahulunya, Nouri al-Maliki, dan aliansi calon Fatah yang memiliki hubungan dekat dengan kekuatan paramiliter mayoritas Syiah.
Fatah dipimpin oleh Mantan menteri transportasiHadi al-Amiri. Iamenjadi komandan senior pejuang paramiliter dalam perang melawan kelompok ISIS. Banyak dari kandidat dalam daftarnya juga adalah komandan paramiliter sebelum mereka memutuskan hubungan resmi dengan pasukan untuk mencari jabatan.
Ulama berpengaruh Muqtada al-Sadr juga memimpin aliansi. Dia memerintahkan para pejuang dalam perang melawan ISIS dan memimpin milisi kuat yang memerangi pasukan AS di Irak. Tetapi kampanyenya berfokus pada isu-isu sosial dan menghilangkan korupsi pemerintah.
Karena begitu banyak aliansi politik yang berlainan, tidak ada satu kelompok pun yang dilihat mampu memenangkan 165 kursi yang dibutuhkan untuk mayoritas langsung. Sebaliknya, blok yang memenangkan kursi terbanyak harus mengumpulkan bersama mayoritas dengan mendapatkan dukungan dari aliansi yang lebih kecil.
Proses pemilihan perdana menteri berikutnya diperkirakan akan memakan waktu berbulan-bulan. Ini kemungkinan akan menghasilkan kekuasaan yang tersebar di berbagai partai politik dengan kepentingan yang berlawanan. Pemerintah saat ini juga mengalami fraktur, sehingga hampir tidak mungkin meloloskan undang-undang.
Sampai perdana menteri baru terpilih, al-Abadi akan tetap menjabat.
Pemungutan suara dibuka pada pukul tujuh pagi dan ditutup pada jam enam sore waktu setempat. Badan independen yang mengawasi pemilu memperkirakan banyak masyarakat yang akan berpartisipasi dalam pemilu ini. Ini karena pemilu diadakan dengan jeda yang cukup dalam serangan militan.
Banyak orang Irak mengutuk wakil terpilih mereka yang menjabat saat ini. Mereka marah karena kasus korupsi dan pemborosan kekayaan minyak yang signifikan di negara itu oleh pemerintahan sebelumnya.
Namun, ada tingkat partisipasi pemilih yang relatif tinggi pada pemilihan kali ini. Meskipun ada masalah keamanan.
Keamanan telah diperketat di Irak beberapa hari sebelum pemilihan. Baghdad, Mosul dan kota-kota besar lainnya memberlakukan jam malam pada hari pemilihan, dan perjalanan antar provinsi sudah dibatasi. Pada Jumat, bandara dan penyeberangan perbatasan akan ditutup. Militan ISIS tidak lagi mengontrol kantong signifikan wilayah Irak, tetapi mereka mempertahankan wilayah di dalam Suriah di sepanjang perbatasan Irak.
Sistem voting elektronik digunakan untuk pertama kalinya tahun ini. Ini dimaksudkan untuk mengurangi kecurangan dan mempercepat proses penghitungan. Menurut badan independen yang mengawasi pemilihan, hasil akan dirilis dalam waktu 48 jam setelah pemungutan suara pada Sabtu.
Kekuasaan politik di Irak secara tradisional dibagi menurut garis sektarian. Yakni untuk jabatan perdana menteri, presiden dan ketua parlemen.
Sejak pemilihan pertama menyusul penggulingan Saddam Hussein yang dipimpin AS pada 2003, mayoritas Syiah telah memegang posisi perdana menteri. Sementara Kurdi telah memegang kursi kepresidenan dan kaum Sunni memegang jabatan ketua parlemen.
Konstitusi menetapkan kuota untuk representasi perempuan, yang menyatakan bahwa tidak kurang dari seperempat anggota parlemen harus perempuan. Hampir 2.600 perempuan terdaftar sebagai kandidat dalam pemilihan parlemen tahun ini.
Setelah hasil pemilihan diratifikasi oleh Mahkamah Agung Irak, parlemen harus bertemu dalam waktu 15 hari. Anggota tertua akan memimpin sesi pertama, yang akan memilih ketua parlemen. Parlemen kemudian harus memilih seorang presiden dengan suara mayoritas dua pertiga dalam 30 hari sejak pertemuan pertamanya.
Presiden kemudian menunjuk anggota blok terbesar di parlemen sebagai perdana menteri. Ia diberi waktu 30 hari untuk membentuk kabinet. Jika individu itu gagal, presiden harus mencalonkan orang baru untuk jabatan perdana menteri.
Di masa lalu, membentuk pemerintahan baru telah memakan waktu hingga delapan bulan. Pada 2005, dugaan kecurangan hasil pemilu menunda ratifikasi hasil pemilu lebih dari sepekan.