REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan KSAU Marsekal (Purn) Agus Supriatna kembali tidak memenuhi panggilan pemeriksaan KPK sebagai saksi. Agus seharusnya diperiksa dalam penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi pengadaan helikopter militer Agusta Westland (AW) 101 pada APBN 2016.
"Pihak penasihat hukum saksi menghubungi KPK dan menyampaikan bahwa surat panggilan belum diterima saksi," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Jumat (11/5).
Agus sebelumnya pernah dipanggil KPK dan datang, pada 3 Januari 2018. Sebelum itu, ia dua kali tidak hadiri pemanggilan KPK yaitu pada 27 November 2017 dan 15 Desember 2017.
"Pada 3 Januari 2018 itu, Agus keluar dari gedung KPK sekitar pukul 12.15 WIB dan mengatakan tak bisa sembarang memberikan pernyataan," kata Febri.
Agus bahkan menunjukkan buku biru yang berisi sumpah prajurit bahwa ia memegang segala rahasia tentara sekeras-sekerasnya. "KPK memastikan telah mengirimkan surat panggilan di awal Mei 2018 ke rumah di Halim. Lokasi yang sama dengan surat sebelumnya yang pernah disampaikan," tambah Febri.
Namun KPK masih akan memanggil Agus. "Untuk kepentingan pemeriksaan, KPK akan memanggil kembali saksi sesuai dengan aturan KUHAP. Waktu pemanggilan disesuaikan dengan kebutuhan penanganan perkara, direncanakan paling cepat minggu depan," ungkap Febri.
KPK menetapkan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka pada Mei 2017. PT Diratama adalah penyedia Helikopter AW-101.
Irfan sebagai Direktur PT Diratama Jaya diduga juga pengendali PT Karya Cipta Gemilang (KCP). Keduanya adalah perusahaan peserta lelang pengadaan Heli AW 101 pada April 2016.
Sebelum proses lelang dilakukan, Irfan sudah melakukan pengikatan kontrak dengan perusahaan Agusta Westland sebagai produsen helikopter angkut dengan nilai kontrak Rp 514 miliar atau 39,3 juta dolar AAS. Padahal pada Juli 2016, saat penunjukan pengumuman dilanjutkan dengan pengikatan kontrak antara TNI Angkatan Udara dengan PT Diratama, nilai kontrak mencapai Rp 738 miliar sehingga menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 224 miliar.
Helikopter angkut itu pun dikirim pada Februari 2017. Selain menetapkan Irfan sebagai tersangka, POM TNI juga baru saja menetapkan kepala unit pelayanan pengadaan berinsial Kolonel KAL sebagai tersangka sehingga ada empat orang tersangka yang berasal dari TNI.