REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mengatakan, ditangkapnya sejumlah terduga teoris beberapa waktu ini mengindikasikan adanya kebangkitan sel terorisme yang selama ini terkesan 'tidur'. Polri merasa kesulitan melakukan tindakan pencegahan karena terbentur Undang-Undang Terorisme yang berlaku saat ini.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Polri Irjen Setyo Wasisto menyatakan, UU Terorisme yang saat ini dipakai bersifat responsif. Artinya, kepolisian baru bisa menangkap terduga teroris saat dia sudah mulai melancarkan aksinya. "Kalau belum bergerak belum bisa ditangkap," kata Setyo di Markas Besar Polri, Jakarta, Ahad (13/5).
Sehingga, ia berharap RUU untuk Terorisme nomor 15 tahun 2003 diharapkan dapat memberikan kewenangan lebih bagi Polri. Kewenangan yang dimaksud adalah, bila seseorang kedapatan memiliki bukti kuat berafiliasi dengan jaringan teroris tertentu, Polri bisa langsung melakukan penangkapan. Bukan saat pelaku sudah melakukan aksinya.
"Segera tuntaskan dan selesaikan, beri payung hukum pada Polri untuk melakukan upaya represif untuk preventif. Kita bisa menangkap orang yang terduga, kalau sekarang belum bisa," ujar Setyo.
Pembahasan RUU Terorisme juga sempat diwarnai dengan isu pelibatan Tentara Nasional Indonesia dalam operasi kontra terorisme. Setyo mengaku tidak mempermasalahkan hal tersebut, karena pelibatan TNI dalam hal ini berada dalam lingkup pelaksanaan. "Yang penting bisa menangkap. Dengan alat bukti kuat yang membuktikan dia terafiliasi organisasi tertentu yang melakukan terorisme bisa ditangkap. Itu yang penting," tegasnya.
Sementara itu, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) justru meminta pemerintah, DPR, berhati hati dalam membahas RUU terorisme. Direktur Eksekutif ICJR Anggara menuturkan, salah satu ganjalan dalam pembahasan RUU Terorisme adalah mengenai ketiadaan definisi Terorisme. ICJR meminta agar dalam pembahasan RUU Terorisme, defisini terorisme ditetapkan dengan hati hati karena merupakan pintu masuk untuk mengatur materi muatan terkait tindak pidana terorisme.
"Jika tidak, maka peluang penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan dalam penegakan hukum terorisme akan terbuka lebar," kata Anggara dalam keterangan tertulisnya.