REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Tak begitu mewah memang, tapi kediaman keluarga pelaku bom bunuh diri di tiga gereja Surabaya dapat disebut cukup berada. Bertempat di Jalan Wonorejo Asri XI Blok K/22 Surabaya, rumah bercat putih terlihat lenggang dan berantakan.
Di halaman depan rumah juga terlihat dua motor dan tiga sepeda berjejer tak beraturan dengan penjagaan dari beberapa polisi di luar pagar. Ketua RT 02/03, Khorihan mengaku sampai detik ini tak pernah menyangka keluarga Dita Operiato (45) dan istri serta empat anaknya menjadi pelaku bom bunuh diri di tiga gereja Surabaya pada Ahad pagi (13/5). Keterkejutan tak hanya dirasakan oleh pria setengah baya ini tapi juga masyarakat sekitar.
"Dia kalau dikategorikan termasuk orang baik dibandingkan warga lain yang ketemu palingan satu tahun sekali buat saya kasihkan SPPT," kata Khorihan saat ditemui Republika.co.id, di Mushalla Al-Ikhlas Wisma Indah, Rungkut, Surabaya, Senin (14/5).
Setiap hari, kata Khorihan, Dita dan dua anak laki-lakinya selalu shalat berjamaah bersama warga lainnya. Mereka dapat disebut tak pernah absen mengikuti kegiatan ibadah tersebut, terutama shalat subuh. Ketiganya selalu terlihat datang paling akhir tapi pulang terawal di antara jamaah lainnya.
Menurut Khorihan, kemampuan Dita mengajak anak-anaknya shalat berjamaah dapat diacungi jempol. Apalagi saat Dita mampu mengikutsertakan kedua anak laki-lakinya mengikuti shalat subuh berjamaah. Khorihan menilai, sikap ini sangat sulit diterapkan terutama pada anak-anak era kini.
Seusai shalat berjamaah, Dita dan dua anaknya biasanya selalu berpelukan dan mencium tangan sang ayah. Namun saat shalat maghrib berjamaah pada Sabtu (13/5), anak laki-laki FH (16) terlihat menangis.
"Biasanya suka cium tangan dan pelukan sama anaknya seusai shalat tapi pas itu tidak tahu kenapa anak laki-laki keduanya menangis. Ya sekitar shalat maghrib pada Sabtu lalu," ujar pria berbaju putih tersebut.
Selain ikut shalat berjamaah, Dita juga dikenal acap berpartisipasi dalam memberikan iuran pada kegiatan masyarakat. Bahkan, Dita yang menetap sejak 2009 ini selalu memberikan sumbangan kurban sapi setiap tahunnya. Namun sekitar dua tahun terakhir, Dita tak lagi memberikan sumbangannya pada ibadah kurban di tempatnya.
Secara ekonomi, Khorihan mengkategorikan keluarga Dita berada. Dita dikenal sebagai produsen minyak kemiri, wijen dan jinten di sekitaran wilayah Surabaya. Rumahnya selalu didatangi distributor maupun pembeli yang kebanyakan berwajah Cina.
"Mereka kalau keluar biasanya bawa berjeriken-jeriken minyak. Ya lumayan kalau dihargakan berapa itu," jelas dia.
Meski terlihat baik dan ramah, Khorihan menilai, Dita sebagai sosok tertutup. Tak ada komunikasi maupun diskusi intens di antara keduanya. Bahkan, Khorihan menilai keluarga itu jarang mau berkumpul dengan warga lainnya saat kegiatan warga seperti tahlilan, perayaan 17-an dan sebagainya.
"Kalau pas dia shalat berjamaah, saya pernah ajak dia untuk tidak pulang dulu karena ada pengajian atau tahlilan. Dia saat diajak saya bilangnya sih mau, tapi pas acara dimulai, dia tidak ada," jelasnya.
Berbeda dengan Dita, istri Puji Kuswanti (43) lebih sering terlihat mengikuti kegiatan arisan, pengajian dan acara ibu-ibu lainnya. Istri pelaku termasuk rutin mengikuti kegiatan tersebut setiap bulannya, bahkan rumahnya sempat dijadikan tempat arisan bersama warga lainnya. Namun ada hal yang ganjil sekitar dua bulan terakhir, karena Puji tak mengikuti lagi arisan tersebut.
Menurut Khorihan, warga melakukan pertemuan terakhir pada acara arisan sekitar Maret lalu. Di pertemuan arisan tersebut, Puji langsung memberikan uang arisan untuk dua bulan selanjutnya. Khorihan tak dapat memastikan sang istri selama waktu terakhir berada di rumah atau tidak, tapi untuk sosok Dita diyakini selalu menetap di Surabaya.
"Dia tidak pernah absen shalat berjamaah, jadi tidak mungkin pergi jauh. Dita tidak pernah lama meninggalkan rumah, terakhir saya lihat dia absen shalat berjamaah itu setahun lalu. Itu juga karena sakit dan saya menjenguknya," jelas dia.
Dari sini, Khorihan tak yakin Dita pernah pergi ke Suriah sebagaimana dugaan Densus 88 saat menggeledah kediamannya. Secara resmi, Khorihan tidak pernah menerima permintaan pembuatan surat-surat tertentu sebagai syarat administrasi ke luar negeri. Ditambah lagi, Dita dan kedua anak laki-lakinya selalu rutin shalat berjamaah di Mushalla Al-Ikhlas.
Sementara dari sisi keempat anaknya, Khorihan menilai, mereka termasuk anak yang baik. Tidak pernah terlibat konflik bersama anak-anak lainnya. Anak-anak di kompleksnya memang jarang bertemu dan bermain satu sama lain seperti pada umumnya.
Setiap pulang sekolah, kebanyakan anak-anak di kompleksnya lebih suka melakukan kegiatan sendiri. Sementara keempat anak Dita, kata Khorihan, terkadang terlihat berkeliling kompleks menggunakan sepeda. Tak hanya anak-anaknya, Dita dan istri juga pernah melakukan kegiatan tersebut untuk mengisi waktu luang di pagi atau sore hari.
"Dan kalau disebut penurut atau tidak kepada orangtuanya, ya kelihatannya seperti itu. Itu terbukti dari mereka yang mau shalat berjamaah di mushala. Ini sulit untuk dilakukan orangtua karena saya merasakan sendiri bagaimana susahnya mengajak anak shalat berjamaah di mushala," tegas dia.
Penilaian baik juga diungkapkan oleh satpam Min (68) yang selalu menjaga portal di sekitar kompleks. Keluarga Dita dikenal sebagai sosok ramah, sopan dan rajin beribadah. Selain termasuk keluarga berkecukupan, istri Dita juga diketahui sering membaur dengan warga lainnya. Dia acap mengikuti kegiatan arisan, PKK, pengajian dan sebagainya.
"Saya tidak menyangka dan warga lainnya juga merasa seperti itu. Terakhir ketemu, ya malam Minggu lalu keluarganya semuanya ada di rumah. Tidak ada kegiatan mencurigakan selama beberapa waktu terakhir," terang dia.
Tetangga tersangka, Punjong (40) juga mengungkapkan hal serupa perihal kelurga Dita. Tak ada hal yang mencurigakan selama ini dari keluarga pelaku. Sebab, selama ini pelaku selalu menampakkan perbuatan yang baik kepada tetangganya. Keluarga bahkan dikenal sebagai orang-orang yang rajin ibadah.