REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal PBNU H Helmy Faishal Zaini menyampaikan sikap tegas PBNU terhadap Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) setelah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menolak gugatan HTI. Menurut dia, untuk menyikapi HTI, PBNU memisahkan kedua hal yaitu terkait sikap politik dan pandangan keagamaan HTI.
Ia berpendapat, pandangan keagamaan HTI tidak ada masalah di Indonesia. Namun yang menjadi masalah hanya pandangan politik HTI terkait keinginan mendirikan khilafah. "Pandangan keagamannya tidak ada masalah HTI, kiblatnya sama, Alqurannya sama, shalatnya sama, tidak masalah," ujar Helmy saat dihubungi Republika.co.id, Senin (14/5).
Menurut Helmy, pandangan politik HTI menjadi masalah di Indonesia karena bisa dibilang sesat dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pasalnya, HTI telah terbukti ingin menyebarkan konsep khilafah.
"Cuma yang bermasalah adalah HTI hendak mengusung apa yang disebut dengan konsep khilafah itu. Jadi dalam pandangan kami dalam konteks NKRI, pandangan politik seperti itu sesat," ujarnya.
Dia menuturkan, ideologi Pancasila sudah final, sehingga jika ada kelompok yang ingin mengubah dasar ideologi Pancasila, maka sangat bertentangan dengan konsensus para pendiri bangsa. "Bagi NU bahwa komitmen kita untuk mengakui kedaulatan NKRI dengan ideologi Pancasila itu final," katanya.
Baca juga, Jawaban Jubir HTI Soal Kekuatan Suara HTI di Tahun Politik.
Karena pandangan keagamaan HTI tidak masalah, maka Helmy mengajak kepada eks anggota HTI untuk bergabung dengan NU guna mendakwahkan Islam wasathiyah atau Islam moderat dalam bingkai NKRI. Menurut dia, PBNU dan HTI sangat mungkin berdakwah bersama di Indonesia. "Sangat mungkin dong (untuk berdakwah bersama)," tegas Helmy.
Juru Bicara Eks HTI, Muhammad Ismail Yusanto mengucapkan terimakasih kepada PBNU yang mengajak untuk berdakwah bersama-sama. Menurut dia, ajakan dari NU tersebut merupakan bentuk empati dan simpati setelah gugatan HTI ditolak oleh PTUN. "Kami tentu mengucapkan terimakasih atas tawaran itu (ajakan PBNU). Kami menilai itu adalah empati dan simpati kepada kami," ujar Ismail.