REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Bagi sebagian besar warga keturunan pengungsi Palestina, eksodus massal pada 1948 yang dikenal dengan Hari Nakba, adalah kisah menyayat hati yang hanya dapat mereka dengar dari orang tua dan kakek nenek mereka. Tujuh puluh tahun setelah peristiwa itu, sebanyak 700 ribu warga Palestina masih terusir dari tanah air mereka sendiri.
Saat ini, generasi ketiga dari pengungsi Palestina itu mulai mencari tahu mengenai identitas nasional mereka. "Saya tidak pernah mengatakan saya murni orang Palestina karena saya tidak pernah tinggal di sana," kata Tamara Yassin (25 tahun) kepada Arab News.
"Hubungan saya dengan Palestina hanyalah dari kakek dan nenek saya. Ibu saya lahir pada 1967 dan saat itulah mereka meninggalkan Palestina. Saya tahu asal saya dari Palestina, tetapi saya dibesarkan di Uni Emirat Arab (UEA)," ujarnya.
Kakek-nenek Yassin berasal dari Kota Jaffa, tetapi mereka harus bermigrasi ke Gaza sebelum meninggalkan Palestina dan menetap di UEA. "Saya tahu sejarahnya. Saya tahu kisah kakek-nenek saya. Tiga tempat ini adalah bagian dari kehidupan saya, yaitu UEA, AS, dan Palestina," kata Yassin, yang kini tinggal di Kota Sharjah.
Setelah Hari Nakba, ratusan ribu pengungsi Palestina tersebar di seluruh dunia. Mereka mencari perlindungan di tempat lain untuk sementara waktu. Namun, mereka kemudian mulai membangun keluarga kecil dan anak-anak mereka lahir di luar negeri tempat orang tua mereka mengungsi, sehingga ideologi yang berbeda sering kali menimbulkan bentrokan.
"Saya seorang warga keturunan Palestina yang dibesarkan di Arab Saudi," kata Dania Husseini (28 tahun), yang keluarganya berasal dari Yerusalem.
"Saya rasa saya adalah salah satu dari mereka yang memiliki krisis identitas. Saya tidak cocok dengan budaya khas Arab Saudi atau Barat, sungguh. Saya memiliki mentalitas saya sendiri yang berkembang setelah saya hidup di semua lingkungan tempat saya tinggal," ujarnya.
Meskipun sebagian besar generasi ketiga pengungsi Palestina tidak pernah tinggal di Palestina, beberapa dari mereka masih merasakan rasa kepemilikan yang kuat terhadap tanah air mereka. Rasa itu tidak pernah memudar setelah wilayah mereka dilucuti dari orang tua dan kakek-nenek mereka.
Yazan Samir Al-Khatib, yang keluarganya pindah dari Nablus ke Puerto Rico selama eksodus, turut menyampaikan hal tersebut. "Saya tidak dapat menyangkal fakta bahwa pemikiran dan ideologi saya telah sangat dipengaruhi oleh Puerto Rico serta Amerika Serikat. Saya memiliki kecintaan yang mendalam terhadap budaya Latin dan sedikit menjunjung peradaban Amerika," ujar dia.
"Tetapi saya akan pergi ke Palestina (Tepi Barat) setiap musim panas dan di sanalah saya merasa paling betah. Saya biasa pergi ke sekolah di Puerto Riko dan kemudian ke Amerika Serikat. Namun akhirnya saya bisa naik pesawat ke Amman, menyeberangi perbatasan Yordania-Israel, dan naik taksi ke Lubban (Palestina) tercinta," ungkap Al-Khatib.