REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah terus mengupayakan deradikalisasi bagi warga negara Indonesia (WNI) terindikasi paham radikal dari Suriah guna meminimalkan penyebaran radikalisme di Tanah Air.
"Orang ke Suriah itu kan ada yang diketahui, ada yang tidak diketahui. Jadi ini memang betul suatu upaya deradikalisasi yang keras, dan tentu pelajaran juga dalam pengaturan di penjaranya. Seperti (di Mako Brimob) itu kan alasan formalnya karena makanan," kata Jusuf Kalla kepada wartawan di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Selasa (15/5).
Menurutnya, deradikalisasi bukan upaya yang mudah dilakukan karena hal itu menyangkut pengubahan idealisme radikal seseorang. Namun, hal itu terus dilakukan Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Kalla menjelaskan paham radikal itu selalu datang dari negara yang gagal berdiri, seperti Al-Qaeda di Afganistan dan ISIS di Suriah. "Dulu Al-Qaeda datang dari Afganistan setelah perang. Sekarang ini ISIS, dimulai dari negara yang datang dari Suriah dan Irak. Akhirnya pulang semua, dan yang pulang membawa virus, membawa ilmunya dan membawa kemauannya ke sini," kata Jusuf Kalla.
Upaya deradikalisasi juga dilakukan kepada para teroris yang telah tertangkap dan ditahan di penjara. Namun, Wapres menilai penyatuan terpidana teroris di satu tempat bukan berarti menyelesaikan masalah radikalisme dalam diri para teroris tersebut. "Deradikalisasi ada yang berhasil, ada juga yang tidak. Kalau mereka berkumpul, keyakinannya bisa makin kuat. Al-Baghdadi pimpinan ISIS itu juga dia dapat ilmu dan keyakinannya itu di penjara. Tapi kalau (terpidana teroris) disebar-sebar, dia bisa menjadi virus," ujarnya.
Oleh karena itu, ia mengatakan upaya penanggulangan terorisme menjadi tugas bersama baik Pemerintah, Polisi, TNI dan juga masyarakat yang diharapkan dapat segera melaporkan kepada aparat apabila menemukan kondisi sekitar yang mencurigakan.
Baca: Pemerintah Waspadai WNI Pulang dari Suriah