REPUBLIKA.CO.ID, DETROIT -- Muslim dan Yahudi Amerika Serikat (AS) meningkatkan solidaritas mereka ditengah gejolak yang terjadi di perbatasan Israel. Mereka membentuk aliansi untuk membangun kepercayaan.
Pemandangan ini begitu kontras dengan kekerasan yang melanda Perbatasan Gaza-Israel. Muslim dan Yahudi AS mengirim anggota mereka ke masjid dan sinagog untuk saling mempelajari agama satu sama lain.
Mereka juga melakukan perjalanan bersama untuk mengunjungi situs-situs hak sipil di Selatan dan membentuk kemitraan yang melibatkan para CEO dari perusahaan-perusahaan besar.
Para pemimpin kelompok itu mengatakan peristiwa dunia telah memberikan dorongan untuk mengadakan aksi solidaritas ini. Termasuk kekerasan di Gaza, peresmian kedutaan AS di Yerusalem, larangan perjalanan dari negara Muslim dan banyaknya insiden kejahatan kebencian.
"Jika ada waktu untuk berbicara, itu sekarang," kata Direktur eksekutif grup yang berbasis di Los Angeles, New Ground, Aziza Hasan.
New Ground telah menyediakan program pelatihan kepemimpinan untuk ratusan profesional dari dua komunitas. Salah satunya diskusi tentang prosesi upacara kematian dari masing-masing agama. Para peserta tergerak dengan kesamaan tradisi kedua agama mereka.
"Beberapa orang hampir menangis ketika mereka mengetahui lebih banyak," kata Hasan.
Demonstran memprotes kebijakan AS yang memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem, di luar konsulat Israel di Los Angeles, Senin, 14 Mei 2018. Tentara Israel menembak dan menewaskan lebih dari 58 warga Palestina selama protes massal di sepanjang perbatasan Gaza pada hari Senin. (Foto AP/Reed Saxon)
Bentuk solidaritas yang paling kuat adalah pembentukan Dewan Penasihat Yahudi Muslim, yang dimulai dua tahun lalu. Dewan bekerja untuk memperluas undang-undang kebencian-kejahatan.
Sekarang, dewan meluncurkan inisiatif mengirim anggota Yahudi ke masjid dan Muslim ke sinagog untuk lebih meningkatakan pemahaman pada masing-masing penganut agama. Dewan ini terdiri dari para pemimpin bisnis, politik dan agama.
Ketua Dewan dan CEO Ethan Allen Interiors, Farooq Kathwari mengatakan kekerasan di sepanjang perbatasan Gaza dengan Israel menjadi alasan agar program kerjasama ini semakin ditingkatkan. "Kami harus menggandakan upaya kami untuk tetap bersama. Saya berharap dan berdoa semoga krisis ini berubah menjadi peluang untuk perdamaian," kata Kathwari.
Dewan Penasihat Yahudi Muslim berharap upaya mereka dapat meloloskan undang-undang federal yang akan meningkatkan hukuman atas ancaman kekerasan terhadap lembaga agama. UU itu telah disahkan DPR pada Desember dengan suara 402-2. Pejabat dewan berharap UU ini lulus Senat dengan margin yang sama.
Dewan juga sedang berupaya memperluas pengaruhnya dengan semakin banyak afiliasi regional, termasuk Los Angeles, Philadelphia, Dallas, Miami dan Detroit. Ketua Dewan lainnya Stanley Bergman mengatakan kelompok-kelompok itu dapat membantu meredakan prasangka di kedua sisi melalui berbagai peristiwa dan percakapan khusus untuk masalah lokal.
Para pemimpin dewan penasehat juga menghindari kritik langsung terhadap Trump. "Presiden kami memiliki caranya sendiri, yang kadang-kadang berhasil, tetapi dampak negatifnya bisa jadi membelah orang. Apa yang harus kita lakukan adalah bergerak maju, tetapi juga menyatukan orang," kata Kathwari.
Dewan Hubungan Amerika-Islam mengatakan bulan lalu bahwa retorika xenofobik Trump telah memberikan legitimasi terhadap kefanatikan. Ini juga berkontribusi terhadap meningkatnya kejahatan kebencian anti-Muslim dari tahun lalu. Peningkatan terjadi sebanyak 15 persen.
Kelompok nasional ambisius lainnya adalah Sisterhood of Salaam Shalom. Kelompok ini menyatukan para wanita Yahudi dan Muslim yang tertarikbelajar tentang satu sama lain.
Tiruan peti mati diletakkan di depan sebuah spanduk yang menyatakan bahwa Yerusalem adalah ibu kota Palestina ketika para demonstran memprotes kebijakan Pemerintah AS yang memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem, di luar konsulat Israel di Los Angeles, Senin, 14 Mei 2018. Tentara Israel menembak dan membunuh lebih dari 50 warga Palestina selama protes massal di sepanjang perbatasan Gaza pada hari Senin. (Foto AP/Reed Saxon)
Didirikan pada 2010, sekarang Sisterhood of Salaam Shalom memiliki lebih dari 2.700 anggota di sekitar 150 cabang yang mencakup 27 negara. Mencari wawasan baru dalam memerangi kefanatikan, belasan perempuan pergi ke Georgia, Alabama, dan Tennessee pada April lalu untuk mengunjungi tempat-tempat yang memperingati gerakan Hak Sipil.
"Kami ingin belajar bagaimana berbicara menentang kebencian," kata co-founder Sheryl Olitzky, yang beragama Yahudi.
Co-founder lainnya, Atiya Aftab, adalah seorang pengacara yang mengajar hukum Islam di Universitas Rutgers. Dia menggambarkan pertumpahan darah di Gaza sebagai hal yang memilukan. Namun hal itu akan memotivasi upaya kelompok.
"Sebagai orang beriman, kami berdoa agar kami terus melihat cinta dan kemanusiaan Tuhan satu sama lain," katanya.
The Sisterhood of Salaam Shalom juga mendekati isu-isu politik dengan hati-hati. Sisterhood menyadari beberapa upaya keterlibatan lintas agama telah menggelepar perbedaan pada politik Israel-Palestina. Untuk itu Sisterhood menyarankan agar kantor cabangnya menghindari dialog tentang hal itu sampai kepercayaan dan rasa hormat telah ditetapkan dalam anggota cabang.
Pekan lalu, dengan ketegangan yang memburuk di Timur Tengah, Sisterhood mengadakan pertemuan khusus untuk memberikan pelatihan tentang cara menangani konflik. Menurut pemimpin kelompok ini, Olitzky, misi Sisterhood telah mengambil urgensi ekstra selama kepresidenan Trump.
Sejak pemilihan, Olitzky berpendapat, telah terjadi peningkatan nyata dalam aksi-aksi kebencian anti-Yahudi dan anti-Muslim. Peningkatan ini telah membawa komunitas Yahudi dan Muslim menggunakan cara-cara baru untuk memperkuat kepercayaan.
Seorang profesor ilmu politik dan hubungan internasional di University of Delaware, Muqtedar Khan percaya kondisi sosial dan politik yang kondusif meningkatkan solidaritas yang lebih besar antara dua agama.
Secara politik, ia mengharapkan kedua komunitas akan memainkan peran yang semakin penting dalam Partai Demokrat yang melihat Partai Republik sebagai musuh minoritas. Secara sosial, ia melihat generasi muda Yahudi dan Muslim Amerika lebih mungkin bersatu dari pada generasi orang tua mereka.
Salah satu contoh: IfNotNow, sekelompok aktivis Yahudi muda yang menentang perlakuan Israel terhadap Palestina, telah mengoordinasikan beberapa kegiatan protesnya dengan Muslim Amerika untuk Palestina. "Mereka memiliki kesamaan dalam mencari keadilan sosial di Amerika," kata Khan.
Bentuk soliaritas ini juga terdapat di negara lain. Di Jerman, lebih dari 2.000 orang Yahudi dan Muslim mengenakan tudung Yahudi dan turun ke jalan untuk memprotes serangan anti-Semit di Berlin di mana seorang pencari suaka Suriah menjadi tersangka.
Di AS, komunitas Muslim di Philadelphia dan Saint Louis mengumpulkan dana tahun lalu untuk membantu memulihkan pemakaman Yahudi yang dirusak.