REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Panitia Khusus Revisi Undang undang Anti Terorisme Arsul Sani mengatakan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memungkinkan aparat menindak warga negara Indonesia (WNI) yang terkoneksi dengan ISIS. Sebab, revisi UU tersebut memasukkan WNI yang bergabung dengan kelompok di daerah konflik seperti Suriah maupun Irak sebagai perbuatan persiapan.
Dia mengatakan perubahan UU Antiterorisme akan memberi kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk menindak WNI yang melakukan perbuatan persiapan aksi terorisme. Dia menerangkan ketika orang Indonesia pergi ke Suriah atau Irak dan bergabung sebagai kombatan, maka orang tersebut dianggap bergabung sebagai kombatan.
"Tidak dipilah di UU itu, pokoknya bergabung dalam satu kelompok organisasi gerakan yang kemudian itu diidentifikasi sebagai gerakan teroris," ujar Arsul di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (15/5).
Arsul menjelaskan substansi revisi UU Antiterorisme memang menitikberatkan tindakan preventif atau pencegahan. Tindakan pencegahan berarti aparat penegak hukum bisa melakukan penindakan sejak persiapan.
Bahkan, menurutnya, aparat dapat melakukan penindakan tanpa menunggu WNI tersebut melakukan perbuatan yang mengarah pada tindakan teror. Ia menyontohkan perbuatan persiapan yang bisa ditindak aparat penegak hukum jika ada kegiatan perekrutan atau pem-baiat-an orang-orang ke sel-sel jaringan teroris.
Perbuatan persiapan lainnya, dia menyebutkan, jika terdapat sel-sel jaringan teroris yang melakukan kegiatan pelatihan militer seperti menembak, memanah, atau menggunakan pedang. Hal ini sebelumnya tidak diatur dalam UU Antiterorisme yang sedang berlaku.
"Dengan UU yang baru asal bisa dibuktikan bahwa dia terasosiasi, terkoneksi, dengan satu kelompok atau organisasi teroris, maka itu bisa proses dipidana," ujar Arsul.
Arsul mengatakan keleluasaan melakukan penindakan ini perlu dibuat batasan agar tidak digunakan secara keliru oleh aparat. Menurut Arsul, pemerintah dan aparat penegak hukum harus membuktikan bahwa pelaku terduga adalah memang ke daerah tersebut dan menjadi anggota teroris.
"Kalau orang pergi ke Suriah ikut ISIS, tetapi karena kena tipu dan tidak menjadi kombatan maka dia tidak boleh pulang ke sini untuk diproses hukum. Paling dia masuk program deradikalisasi kalau dia pikirannya sudah terpengaruh," ujarnya.
Anggota Komisi III DPR itu menambahkan pemerintah juga harus mempertajam poin batasan tersebut agar jangan sampai hanya lantaran pernah berada di Suriah kemudian dijadikan tersangka atau dipidana. "Mesti ada juga pemilah-pemilahannya. Nah ini saya kira itu contoh hal-hal yang baru," ujar Arsul.