REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Psikolog Universitas Muhammadiyah Malang, Hudaniah menganjurkan anak perempuan yang selamat dalam insiden bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya untuk mendapat pendampingan khusus. Selain keluarga, sebaiknya ada pendampingan dari tenaga ahli untuk mengantisipasi kemungkinan trauma.
Dia mengatakan, banyak faktor potensi yang bisa menimbulkan trauma pada anak tersebut. Selain suara ledakan bom yang berada dalam jarak dekat, kehilangan kedua orang tua sekaligus tentu akan memberikan 'jejak' memori. "Saya perkirakan usia anak itu tujuh sampai delapan tahun, di mana usia tersebut memungkinkan sang anak memiliki memori mendalam terhadap suatu peristiwa," ujar Hudaniah ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (15/5).
Untuk masa pemulihan, tiap anak memiliki rentang waktu yang berbeda-beda. Hal ini tergantung pada kekuatan emosional anggota keluarga yang mendampingi sang anak dan menggantikan sosok orang tua. Kalau mereka memiliki hubungan emosional yang kuat, kemungkinan anak untuk pulih dari trauma bisa semakin cepat.
Karakter anak juga memberikan pengaruh, apakah mereka memiliki karakter yang lebih lama menyimpan sebuah trauma atau tidak. Jika sang anak sudah ada bawaan lahir cenderung mudah adaptasi, tentu pemulihan akan lebih mudah. "Tapi, ketika karakter anak tertutup, membutuhkan waktu yang lama," ucap Hudaniah.
Untuk orang-orang di sekitar anak, Hudaniah menyarankan agar tidak mengungkit kasus ini secara terus menerus. Sebab, kalau diulang-ulang dan sang anak melihat gambar saat dewasa, ia akan kembali tertekan.
Berdasarkan pantauan CCTV milik Markas Polrestabes Surabaya, sebuah motor masuk ke gerbang markas, lalu diadang oleh petugas dan meledak pada Senin (14/5). Setelah ledakan, seorang anak perempuan berjilbab yang awalnya dibonceng terlihat sempat bangun dan melihat kedua orang tuanya tergeletak.