REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peran media sosial untuk perekrutan teroris dianggap tak terjadi di Indonesia. Di negeri ini, perekrutan teroris lebih banyak dilakukan dengan tatap muka.
"Dalam proses rekrutmen (Indonesia) agak beda, kalau di negara-negara lain, terkadang radikalisasi dan rekrutmen itu lewat sosial media. Banyak kasus terutama di Eropa. Orang yang tak pernah ikut pengajian tiba-tiba hilang dan muncul di Syria," ungkap pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Solahudin di Jakarta Pusat, Rabu (16/5).
Negara tetangga, Malaysia, pun terjadi hal yang demikian. Menurut Solahudin, di Indonesia situasinya berbeda. Meski proses radikalisasi berlangsung melalui media sosial, tapi proses perekrutan itu dilakukan secara tatap muka.
"Dari 75 orang (napi terorisme) saya tanya, mereka bergabung via apa, hanya ada sembilan persen yang menyatakan mereka bergabung dengan kelompok-kelompok ekstremis via sosial media," tuturnya.
Baca: Mengharukan, Pesan Terakhir Ipda Auzar untuk Wakapolri
Sisanya, yakni 91 persen, menyebutkan mereka melewati proses perekrutan ke dalam kelompok-kelompok ekstremis melalui proses di luar jaringan internet. Salah satu alasannya karena kelompok-kelompok ekstremis itu belum begitu percaya dengan hal-hal yang berbau dalam jaringan untuk proses rekrutmen.
"Dunia maya ini kan perempuan bisa jadi laki-laki, laki-laki bisa jadi perempuan. Itu susah, apalagi banyak kasus penipuan terjadi lewat channel-channel telegram yang berafiliasi dengan ISIS," kata dia.
"Kalau bicara ke social media, terkait dengan ekstremisme itu berfungsi untuk meradikalisasi. Tapi untuk rekrutmen, tidak," ujar Solahudin.
Sebelumnya, Kepala BNPT Komjen Pol Suhardi Alius mengatakan jaringan teroris di Indonesia masih ada dan terus berkembang. Menurutnya, saat ini pola rekrutmen anggota mereka telah berubah mengikuti perkembangan teknologi.
"Saat ini menjadikan seseorang sebagai pelaku teror tidak perlu lagi pergi mengenyam pendidikan di Afghanistan atau di tempat lainnya seperti yang dilakukan kelompok teror yang dulu," ujar Suhardi.
Ia mengatakan dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat, saat ini generasi baru teroris cukup diasah secara intensif melalui media sosial dengan memanfaatkan internet.
"Sekarang ini kalau mau membaiat seseorang cukup melalui chatting saja. Seperti yang terjadi di Medan kemarin. Pelaku cukup dicuci otaknya melalui dunia maya, tidak perlu harus datang ke yang membaiat," katanya.
Di dalam menjalankan aksinya pun, kata mantan Kabareskrim Polri ini, pelaku terorisme sekarang bergerak dalam kelompok kecil. Oleh karena itu, ia meminta masyarakat terus mewaspadai keberadaan teroris serta gerak-geriknya.
"Seluruh komponen bangsa harus berusaha menjaga agar sel-sel radikalisme tidak bergerak terus memengaruhi dan mencuci otak anak-anak kita dengan paham-paham radikal," katanya.