REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Gumanti Awaliyah, Ronggo Astungkoro
JAKARTA -- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy meminta agar pihak sekolah dan keluarga sejalan dalam mengoptimalkan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) siswa. Pendidikan berkarakter, menurut Muhadjir, mesti diintensifkan agar bisa menghapuskan segala bentuk paham radikal di sekolah yang bisa berujung pada tindak pidana terorisme.
“Secara konseptual, PPK ini untuk menangkal penyimpangan praktik ajaran, baik yang bersumber dari sekolah maupun luar sekolah. Terutama luar sekolah,” kata Muhadjir di Jakarta, Kamis (17/5).
Dia mengatakan, pendidikan karakter seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 telah mengatur bagaimana cara membina hubungan antara pihak sekolah dan keluarga. Misalnya, guru diinstruksikan untuk bertanggung jawab dan mengawasi semua siswa dari mulai datang hingga pulang sekolah.
Dalam waktu dekat, Muhadjir berencana mengevaluasi dan mendata sekolah yang belum menerapkan PPK. Selain itu, dia juga akan mengevaluasi sekolah-sekolah yang selama ini masih menggelar upacara bendera selama dua pekan sekali, atau menyanyikan lagu kebangsaannya belum tiga stanza, yang mungkin tidak terprinsip dan lain-lain.
Karena itu, dia pun tidak sependapat dengan pandangan bahwa kepala sekolah dan guru abai terhadap indikasi radikalisme di sekolah. “Kalau kasus di Surabaya, jangankan kepala sekolah, aparat keamanan saja tidak mampu. Artinya, harus dipahami secara jujur. Saya tidak bisa janji 100 persen sekolah bisa diamankan. Oleh karena itu, selalu ditingkatkan kewaspadaannya,” kata Muhadjir.
Sementara itu, Koordinator Penelitian Intoleransi dan Radikalisme LIPI Cahyo Pamungkas menuturkan, strategi deradikalisasi keluarga bisa diimplementasikan melalui pendekatan psikologis dan sosial. Menurut dia, mencegah berkembangnya ideologi terorisme pada tingkat keluarga merupakan kunci utama untuk mencegah ideologi tersebut berkembang di masyarakat.
"Pendekatan positif bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan khusus kepada anak-anak pelaku teroris," ujar Cahyo di Jakarta, Kamis (17/5). Selain itu, memberdayakan perempuan bagi keluarga yang ditinggalkan kepala keluarganya karena tersangkut masalah terorisme dan pemisahan tahanan teroris juga bisa dilakukan.
Ia juga mengatakan, mencegah berkembangnya ideologi terorisme pada tingkat keluarga merupakan kunci utama untuk menyetop berkembang luasnya ideologi tersebut di masyarakat. \"Berkembangnya ideologi terorisme di masyarakat luas karena gerakan gagasan atau ide radikalisme sering kali terjadi melalui keluarga teroris,\" kata dia.
Karena itu, sambungnya, kalau penyelesaiannya hanya melalui pendekatan keamanan, mata rantai terorisme tak akan terputus. Terlebih, mata rantai tersebut telah menyebar luas ke berbagai sendi kehidupan masyarakat.
Cahyo menjelaskan, strategi deradikalisasi juga harus dilakukan melalui media sosial untuk melawan narasi-narasi kebencian dan kekerasan yang ada di sana. Menurut dia, gerakan terorisme dilakukan tidak hanya gerakan fisik, tetapi juga penyebaran ideologi kekerasan di media sosial.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merekomendasikan agar pemerintah mengembangkan model-model pencegahan berbasis masyarakat. “Perlu dikembangkan model-model pencegahan berbasis masyarakat dan komunitas agar anak tidak mudah terpapar radikalisme,” ujar Ketua KPAI, Susanto, dalam pernyataannya, Kamis (17/5).
Selain itu, dia juga merekomendasikan usulan pengembangan pendidikan calon pengantin dan semua pasangan orang tua, terkait pengasuhan dan pembekalan kiat-kiat mengasuh anak tanpa muatan radikalisme. “Penting keterlibatan perguruan tinggi dalam menangkal radikalisme dan terorisme. Program Pengabdian Masyarakat dan KKN mahasiswa yang biasanya memilih lokasi ke desa-desa perlu mengambil peran pencegahan kerentanan anak dari radikalisme,” ujar Susanto.
Susanto mengatakan, pemerintah juga perlu melakukan pengembangan literasi melawan radikalisme berbasis media sosial. Sebab, menurut pengamatannya, saat ini pola monitoring jaringan radikal sering menggunakan media sosial. “Sementara tren terkini, anak dekat dengan media sosial, maka perlu dikembangkan literasi counte/ radikalisme berbasis media sosial,” kata dia.
(farah noersativa, Pengolah: fitriyan zamzami)