Jumat 18 May 2018 20:38 WIB

Purwakarta Targetkan 1.000 Ha Lahan Pertanian Organik

Beras organik merupakan prospek yang sangat menjanjikan.

Rep: Ita Nina Winarsih/ Red: Agus Yulianto
Beras Organik (ilustrasi)
Foto: naturalinstinchealing.com
Beras Organik (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, PURWAKARTA -- Dinas Pangan dan Pertanian Kabupaten Purwakarta menagetkan 1.000 hektare lahan menjadi area persawahan organik. Pasalnya, potensi sawah organik di wilayah ini cukup tinggi. Salah satu indikatornya, ketersediaan air bersih yang tidak tercemar logam berat cukup melimpah.

Kepala Dinas Pangan dan Pertanian Kabupaten Purwakarta, Agus Rachlan Suherlan, mengatakan, saat ini areal sawah yang sudah menggunakan sistem pemupukan organik mencapai 200 haktere. Tersebar di tiga wilayah. Yakni, Pasawahan, Bojong dan Kiarapedes. Meski demikian, potensi pengembangan sawah organik ini cukup tinggi.

"Yang paling potensial untuk dikembangkan areal pertanian organik yakni di wilayah selatan Purwakarta," ujar Agus, kepada Republika.co.id, Jumat (18/5).

Sebab, ketersediaan air bersih di wilayah itu cukup melimpah. Yakni, dari mata air pegunungan. Menngingat, salah satu sarat keberhasilan pertanian organik itu dari suplai air. Air untuk mengairi sawah tersebut jangan sampai tercemar logam berat.

Jika airnya sudah bagus, maka komponen lainnya tinggal mengikuti. Salah satunya pupuk. Kalau untuk benih, varietas apapun bisa jadi pendukung pertanian organik. Jadi, tidak ada masalah dengan benih varietas apapun.

Menurut Agus, alasan instansinya mendorong supaya areal persawahan organik ini bertambah, karena kesadaran masyarakat akan pentingnya bahan pangan sehat cukup tinggi. Apalagi, beras organik yang sudah lolos sertifikasi ini, dijamin bebas residu dan zat kimia.

"Saat ini saja, permintaan pasar akan beras organik cukup tinggi. Di atas lima ton per bulan. Tapi petani kita belum bisa mencukupinya," ujar Agus.

Selain itu, beras organik ini merupakan prospek yang sangat menjanjikan. Karena harga pasarannya cukup mahal. Yakni di atas Rp 20 ribu per kilogram. Dengan begitu, petani yang konsen di pertanian organik ini, dijamin akan menjadi petani dengan tingkat kesejahteraan tinggi.

Sementara itu, Endang Yarmedi (65 tahun) petani Kampung Cipamangkat Rp 16/08, Desa Pasawahan, Kecamatan Pasawahan, mengatakan, sejak 2000 dirinya terjun menjadi petani. Pada lima tahun pertama, Endang fokus pada pertanian konvensional. Dengan menggunakan pemupukan kimia. "Saat itu, tidak pernah ada evaluasi keuntungan. Kita hanya bercocok tanam," ujarnya.

Akan tetapi, makin kesini uang tabungannya semakin menipis. Lalu habis. Ternyata, setelah ditelaah ada yang keliru dari cara bercocok tanamnya. Yakni, biaya produksi tak sebanding dengan hasil produksi.

Karena itu, Endang mencoba untuk beralih dari petani konvensional ke pupuk organik. Saat ini sudah 13 tahun Endang menjadi petani sawah organik.

Endang menuturkan, dalam satu hektare lahan dibutuhkan 10 ton pupuk organik. Jika dikonversikan, biaya produksi yang dibutuhkan itu mencapai Rp 15 juta per hektare per musim. 

Hasil produksinya sama saja dengan pertanian konvensional. Yakni, 6,2 ton per hektare. Gabah sebanyak 6,2 ton ini kemudian diolah menjadi beras dengen rendemen 70 persen. Menghasilkan 4,5 ton beras.

Saat ini, lanjut Endang, harga beras organiknya Rp 20 ribu per kilogram. Jadi, rata-rata penghasilan dalam sebulan Rp 80 juta. Kemudian dipotong biaya produksi Rp 15 juta. Keuntungannya mencapai Rp 65 juta per musim.

"Saya punya tiga hektare lahan garapan. Lalu, beras yang dihasilkan juga sudah tersertifikasi," ujar Endang. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement