Ahad 20 May 2018 06:42 WIB

Riau Butuh Water Storage untuk Swasembada Pangan

Peneliti dan penyuluh dibutuhkan guna menjadi ujung tombak pembangunan pertanian.

Red: EH Ismail
Dam.
Foto: Humas Balitbangtan.
Dam.

REPUBLIKA.CO.ID, Provinsi Riau hingga kini belum mampu berswasembada pangan. Hanya 40 persen dari kebutuhan pangan penduduknya yang bisa dipasok dari daerah sendiri. Sisanya, disumbang dari luar Provinsi Riau.

“Kita dipasok dari Sumbar, Jambi, dan Sumsel,” kata Kepala  Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Riau Dr Ir Nana Sutrisna, MP.

Menurut Nana, sebetulnya Riau mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri bila dapat mengelola air agar tidak langsung mengalir ke laut. “Riau bisa meningkatkan produksi pangan, terutama padi,” kata Nana.

Caranya, dengan pemberdayaan dan pemanfaatan embung dan sumber daya air lainnya, sehingga sawah yang tersedia dapat meningkat indeks pertanamannya dan produtivitas serta produksi padi selama setahun bisa meningkat.

Pemanfaatan sumber daya air, kata Nana, tergantung pada penentuan lokasi prasarana infrastruktur air, cara dan teknik pembangunannya, kapasitas, serta cara pemanfaatan air. Karena itu, dibutuhkan peneliti dan penyuluh guna menjadi ujung tombak dalam pembangunan pertanian, khususnya dalam pemanfaatan air.

Kepala Balai Penelitian Hidrologi dan Agroklimat Dr Ir Harmanto mengatakan, upaya Riau memenuhi pangan sendiri seiring dengan program Kementerian Pertanian yang menggalakkan agar setiap desa memiliki water storage berupa embung dan inovasi teknologi panen air.

Pemerintah pusat menyadari, air berperan vital dalam produksi pertanian. “Bukan hanya Riau, kita siap support teknologinya,” kata Harmanto dalam acara Bimbingan Teknis Pemanfaatan Embung dan Bangunan Air Lainnya untuk Irigasi Pertanian di Riau.

Masalah sumber daya air di Indonesia, kata Harmanto, setidaknya mencangkup tiga hal, yakni 80 persen air untuk kebutuhan pertanian cenderung boros, 70 persen jaringan irigasi yang ada belum dimanfaatkan secara optimal, serta terjadinya kerusakan keseimbangan hidrologis di daerah aliran sungai (DAS).

Harmanto melanjutkan, air juga dapat memicu konflik bila tidak dikelola dengan baik, terutama bila tidak terdapat keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan.

Hingga 2030 mendatang, kebutuhan air untuk sektor pertanian masih menempati urutan tertinggi bila dibanding kebutuhan domestik dan industri. Namun demikian, terdapat potensi air yang belum dimanfaatkan secara maksimal, yakni air permukaan, air tanah, dan air hujan yang melimpah.

Pada 2017-2019, pemerintah telah mencanangkan Teknologi Inovasi Pengembangan Infrastruktur Panen Air  melalui pemanfaatan air dan sungai 2,5 juta hektare (170.483 paket), dam parit 612.067 hektare (8.781 titik), long storage seluas 91.039 hektare (5.832 titik), embung 759.16 hektare (75.328 titik), serta sumur dangkal 24.338 hektare (1.018 titik).

Dari program tersebut, kata Harmanto, sekurangnya akan melibatkan 8 juta tenaga kerja, 20 ribu lapangan usaha, dan diharapkan dapat mengentaskan kemiskinan di 250 ribu desa. (Saefoel Bachri/Balitbangtan)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement