Senin 21 May 2018 04:29 WIB

Pasal Guantanamo dan Kontroversi UU Antiterorisme

Definisi terorisme dan peran TNI masih menjadi perdebatan dalam UU Antiterorisme ini.

Tentara dilibatkan dalam pemberantasan terorisme
Foto: republika
Tentara dilibatkan dalam pemberantasan terorisme

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Amri Amrullah, Febriantio Adi Saputro

JAKARTA – Para anggota DPR mengagendakan rapat penuntasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pekan ini. Sejumlah pihak meminta regulasi itu dibahas secara matang agar tidak mencederai hak-hak warga negara Indonesia.

Direktur Eksekutif Lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara, meminta pemerintah tidak tergesa-gesa melakukan pengesahan revisi UU Antiterorisme tersebut. Ia mengungkapkan, dalam catatan ICJR, masih banyak persoalan-persoalan yang masih harus diselesaikan.

Di antaranya mengenai definisi terorisme, korporasi, penyadapan, pidana mati, hingga korban terorisme. ICJR meminta agar proses pembahasan ini dilakukan dengan cermat dan hati-hati.

"Agar upaya pembentukan hukum untuk penanganan terorisme tidak mencederai kebebasan-kebebasan sipil," ujar Anggara dalam keterangannya, Ahad (20/5).

Terkait hal itu, Anggara mengatakan, ICJR akan memberikan Catatan dan Rekomendasi ICJR terhadap RUU tersebut ke DPR dan pemerintah. ICJR juga meminta proses pembahasan RUU Perubahan UU Terorisme juga memperhatikan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Hal tersebut guna memastikan partisipasi masyarakat terhadap hasil-hasil pembahasan antara pemerintah dan DPR. Anggara memandang banyak pihak yang tidak sepakat dengan ICJR di tengah desakan agar pemerintah bersikap tegas terhadap terorisme. Namun, dia menegaskan, tujuan ICJR adalah demi keadilan serta penegakan hukum yang akuntabel dan transparan.

"Ini untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda-bedakan status sosial, pandangan politik, agama, warna kulit, jenis kelamin, asal-usul, dan kebangsaan," kata dia.

Sejauh ini, pemerintah dan DPR menyatakan, pembahasan revisi UU Antiterorisme telah memasuki tahap final. Pekan ini, Pansus RUU Terorisme dijadwalkan akan kembali membahas regulasi tersebut.

Presiden Joko Widodo bahkan sempat mengultimatum akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) bila UU Antiterorisme yang baru tak kunjung disahkan hingga Juni nanti. Desakan pengesahan regulasi itu menyusul berbagai serangan teror yang terjadi secara beruntun belakangan. Di antaranya serangan terhadap tiga gereja di Surabaya pada Ahad (13/5), serangan ke Mapolresta Surabaya pada Selasa (15/5), dan serangan ke Mapolda Riau pada Rabu (16/5).

Di antara revisi yang rencananya disertakan dalam UU Antiterorisme adalah soal perpanjangan masa penahanan terduga teroris, penangkapan berdasarkan indikasi-indikasi tertentu sebelum kejahatan dilaksanakan, dan pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme.

Keterlibatan TNI dalam melawan terorisme

Peneliti senior LIPI Syamsuddin Haris menilai bentuk keterlibatan TNI di dalam pemberantasan terorisme harus jelas. Jika tidak, langkah itu dikhawatirkan berpotensi melanggar hak asasi manusia.

"Bentuk keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme itu macam apa? Itu mesti jelas," kata Syamsuddin di Jakarta, Ahad.

Selain itu, ia juga menilai keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme harus berada di bawah kepolisian. Menurut dia, itu perlu agar tidak ada gesekan dan konflik kelembagaan yang dapat menimbulkan kebijakan tidak produktif.

Direktur the Community Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya melihat ada beberapa hal yang masih perlu dikritisi dari draf rancangan revisi UU Antiterorisme. Pertama, Harits menyoroti pentingnya definisi terorisme yang harus segera dirumuskan.

Menurut dia, kejelasan definisi tidak bisa ditawar. "Clear, tidak boleh dengan pasal yang ambigu. Dengan definisi yang ambigu, definisi yang multitafsir, itu tidak boleh karena ini akan menjadi kunci dari semua proses-proses berikutnya, pasal-pasal di bawahnya," ujar Harits, Ahad.

Harits menilai adanya pembentukan sebuah lembaga independen yang berfungsi melakukan pengawasan dan kontrol juga perlu dikritisi. Ia berharap nantinya perincian tugas dan wewenang lembaga independen tersebut harus konkret dan diisi oleh orang-orang kredibel yang memiliki kemampuan agar proyek kontraterorisme bisa komprehensif, objektif, dan mengedepankan humanisme.

"Artinya tetap manusiawi, jadi itu harus betul-betul realisasinya harus bagus," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement