REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa politikus Partai Golkar Idrus Marham, Senin (21/5). Idrus akan memberikan keterangan sebagai saksi dalam penyidikan kasus suap terkait pembahasan dan pengesahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL) dalam APBN-P 2016 untuk Bakamla RI.
"Saksi untuk tersangka Fayakhun Andriadi," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin.
Idrus yang juga Menteri Sosial itu tiba di gedung KPK sekitar pukul 14.00 WIB. Namun, ia tidak memberikan komentar apa pun terkait pemeriksaannya. Idrus yang mengenakan kemeja putih lengan pendek hanya melontarkan senyum dan langsung ke dalam gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan.
Nama Idrus mencuat dalam kasus Fayakhun karena disebut oleh politikus Partai Golkar lainnya, yaitu Yorrys Raweyai, seusai menjalani pemeriksaan juga sebagai saksi untuk tersangka Fayakhun. Saat itu, Yorrys mengaku dikonfirmasi oleh KPK soal pemberian uang Rp 1 miliar dari anggota DPR RI 2014-2019 dari Fraksi Golkar Fayakhun Andriadi.
"Dari laporan Fayakhun dalam pemeriksaan bahwa dia ada memberikan uang kepada beberapa orang di antaranya saya,” kata dia.
Yorrys mengatakan kepada penyidik, Fayakhun mengaku bahwa pemberian itu terkait proses menjadi ketua Golkar DKI pada April 2017. Akan tetapi, dia mengatakan, ada kejanggalan dalam keterangan Fayakhun, yakni uang itu diserahkan kepadanya pada Juni.
“Ini kan tidak masuk logika," kata Yorrys seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Senin (14/5).
Menurut dia, KPK berdasarkan keterangan Fayakhun menyatakan bahwa ada beberapa nama juga yang diduga turut menerima uang untuk dukungan pencalonan Fayakhun tersebut. “Seperti Pak Idrus kemudian ada Pak Freddy tetapi memang menurut tadi penyidik bagus karena ini disebut, dia hanya mau untuk konfirmasi karena takutnya kalau sampai dì persidangan kan nanti jadi persoalan baru kan," kata dia.
Ia pun mengungkapkan berdasarkan keterangan Fayakhun bahwa uang tersebut diantar oleh sopir Fayakhun yang bernama Agus. "Terus yang kasih itu sopir dia namanya Agus. Agus diserahkan kepada orang saya, ajudan saya katanya atau sopir. Saya tanya siapa, sopir saya ada dua, ajudan saya ada dua yang mana? Tidak tahu juga katanya," ucap Yorrys.
Namun, ia mengaku tidak menerima uang sebesar Rp 1 miliar tersebut. "Saya bilang, terima dari mana, tidak tahu ya kan. Apalagi saya tidak punya kedekatan khusus dengan Fayakhun. Apalagi dalam konteks menjadikan dia sebagai Ketua Golkar DKI. Tidak ada konteksnya sama sekali," ungkap Yorrys.
KPK telah menetapkan Fayakhun Andriadi sebagai tersangka dalam kasus tersebut pada 14 Februari 2018. Fayakhun merupakan anggota DPR RI 2014-2019 dari Fraksi Partai Golkar.
Fayakhun diduga menerima hadiah atau janji. Padahal, diketahui atau patut diduga bahwa dia atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Hal itu terkait dengan proses pembahasan dan pengesahan RKAKL dalam APBN Tahun 2016 yang akan diberikan kepada Bakamla RI.
Fayakhun disangkakan menerima uang senilai Rp12 miliar dan 300 ribu dolar AS ketika masih menjabat sebagai anggota Komisi I DPR. Saat ini, ia sudah tidak lagi berada di komisi tersebut, tapi duduk di Komisi III yang bermitra dengan KPK.
Fayakhun diduga menerima "fee" atau imbalan atas jasa memuluskan anggaran pengadaan satelit monitoring di Bakamla pada APBN tahun anggaran 2016. Dia diuga menerima imbalan dari tersangka Fahmi Darmawansyah melalui anak buahnya M Adami Okta secara bertahap sebanyak empat kali.
Fee tersebut sebesar 1 persen dari total anggaran Bakamla senilai Rp 1,2 triliun atau senilai Rp 12 miliar. Selain itu, Fayakhun juga diduga menerima uang sejumlah 300 ribu dolar AS.
Fayakhun disangkakan melanggar 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah. Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Hukuman minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.