REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mengenang masa-masa dirinya masih menjadi salah satu aktivis mahasiswa angkatan 1998. Pada saat itu, mahasiswa memiliki rasa solidaritas yang tinggi meskipun berbeda universitas.
"Kalau ada di satu kampus direpresi, kampus yang lain juga sama-sama merespon. Ini karena kami dalam keprihatinan yang sama. Kami bersikap yang sama, sikap solidaritas," kata Masinton kepada Republika.co.id, Senin (21/5).
Pada masa itu, segala aktivitas berorganisasi mahasiswa ditekan. Ia menuturkan, setiap kali ada progres baik itu di dalam atau di luar kampus pasti akan direpresi oleh pemerintah dan langsung ditindak oleh ABRI yang bertugas pada masa itu.
Masinton menyebut, banyaknya penekanan dari aparat menyebabkan tidak sedikit rekan sesama mahasiswanya luka-luka. "Kalau sudah ditindak begitu kan pasti ada korbannya, ada yang luka-luka. Kira-kira begitu," kata dia.
Ia melanjutkan, rekan-rekan sesama mahasiswanya aktif melakukan diskusi terkait keadaan terkini bangsa. Setelah itu, mahasiswa juga melakukan aksi turun ke jalanan menjelaskan keinginan mereka. Tidak sampai di situ, mahasiswa juga melakukan refleksi atas aksi-aksi yang mereka lakukan.
Kini, 20 tahun telah berlalu semenjak para pejuang reformasi meraih keinginan mereka. Demokrasi di Indonesia, diharapkan Masinton dapat menjadi media yang merekatkan masyarakat Indonesia, bukannya justru memecah bangsa.
"Harapan kita dalam demokrasi ini adalah terus menerus memperjuangkan demokrasi ini agar bersih dari ruang yang menebarkan permusuhan kebencian. Demokrasi harus menjadi ruang perekat untuk kita saling menghargai perbedaan," lanjut dia.