REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung membacakan eksepsinya di hadapan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (21/5). Salah satu hal yang disampaikan yakni mengenai audit investigatif Badap Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dinilainya menyimpang dari ketentuan yang ada.
“Laporan Audit Investigatif BPK 2017 tidak memenuhi standar pemeriksaan keuangan yang diatur oleh BPK sendiri, yaitu Peraturan BPK Nomor 1 tahun 2017, khususnya butir 21 sampai dengan 26,” ujar Syafruddin dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jakarta Pusat, Senin (21/5).
Dalam peraturan tersebut dinyatakan, suatu laporan audit harus memiliki pihak yang diperiksa atau yang bertanggung jawab dan harus menggunakan data primer yang diperoleh langsung dari sumber pertama atau hasil keterangan dari pihak yang diperiksa. Laporan Audit Investigatif BPK 2017 itu, menurut dia, tidak ada satu pun pihak yang diperiksa.
“Ditambah lagi data yang digunakan bukan data primer, melainkan data sekunder berupa bukti-bukti yang disodorkan oleh pihak penyidik KPK,” kata dia.
Dia melanjutkan, pada Bab II angka enam laporan itu dengan jelas disebutkan, pemeriksaan investigatif BPK hanya mendasarkan sebatas pada bukti-bukti yang diperoleh melalui penyidik KPK. Selain itu, di dalam laporan tersebut juga banyak dan berulangkali memakai istilah "dugaan" atau "diduga", bukan berdasarkan data yang sudah dapat dipastikan kebenarannya.
“Bagaimana pihak pemeriksa BPK dapat melakukan pemeriksaan yang independen, obyektif, dan profesional dalam meneliti bukti pemeriksaan seperti diatur dalam Peraturan BPK Nomor 1 tahun 2017 butir 14?” ujar Syafruddin.
Dalam eksepsinya itu pula, Syafruddin mengungkapkan soal adanya pertentangan antara Laporan Audit Investigatif BPK 2017 dan Laporan Audit BPK 30 November 2006. Pertentangan itu terkait dengan ada dan tidak adanya kerugian negara. Audit BPK pada 2006 mengatakan, Surat Keterangan Lunas (SKL) layak diberikan kepada pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Itu karena pemegang saham BDNI telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA dan perubahan-perubahannya serta telah sesuai dengan kebijakan Pemerintah dan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002. Ia juga menunjuk Laporan Audit BPK 2002 yang pada pokoknya menyatakan MSAA telah Final Closing pada tanggal 25 Mei 1999 dengan adanya Release and Discharge.
KPK menetapkan Syafruddin sebagai tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada April 2017. Adapun tindak pidana korupsi oleh Syafruddin terkait pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI pada 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.
SKL itu diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjarajakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses litigasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp 4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman BLBI. Berdasarkan audit investigatif BPK, kerugian keuangan negara kasus indikasi korupsi terkait penerbitan SKL terhadap BDNI menjadi Rp 4,58 triliun.