Selasa 22 May 2018 04:17 WIB

'Rekayasa Terorisme', Mengapa Polri Tangkap Warganet?

Postingannya tertulis 'skenario pengalihan yang sempurna' dan #ganti presiden 2019

Petugas keamanan berjaga di depan gereja saat misa di Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria, Surabaya, Jawa Timur, Ahad (20/5). Pengamanan tersebut guna mengantisipasi dan memberikan rasa aman kepada jemaat yang melaksanakan kebaktian dan misa sepekan pascaledakan bom di tiga gereja di Surabaya.
Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Petugas keamanan berjaga di depan gereja saat misa di Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria, Surabaya, Jawa Timur, Ahad (20/5). Pengamanan tersebut guna mengantisipasi dan memberikan rasa aman kepada jemaat yang melaksanakan kebaktian dan misa sepekan pascaledakan bom di tiga gereja di Surabaya.

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Arif Satrio Nugroho, Issha Harruma

JAKARTA -- Polri menangkap sejumlah orang yang menuding kasus terorisme belakangan ini sebagai suatu rekayasa. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Polisi Mohammad Iqbal menyatakan, penangkapan itu dilakukan agar menjadi pelajaran bagi para pengunggah.

“Ini mengancam stabilitas masyarakat. Tolong catat cap rekayasa, Polri tidak nyaman bila aksi ini dikatakan rekayasa. Siapa pun yang menyebut itu (rekayasa), kita tunggu buktinya,” kata Iqbal di Markas Besar Polri, Jakarta, Senin (21/5).

Setidaknya, terdapat tiga orang yang ditangkap karena menyebut Polri dan kasus terorisme yang terjadi sebagai rekayasa atau pengalihan isu. Mereka adalah FSA (kepala SMP N Kayong), HDL (dosen di Universitas Sumatra Utara/USU), dan AAD yang merupakan seorang satpam di Sumatra Utara. Ketiganya menyebarkan informasi tersebut melalui internet dan media sosial.

Iqbal pun menegaskan, tidak ada rekayasa apa pun dalam kasus terorisme yang terjadi belakangan ini. “Jadi, kalau ada yang bilang rekayasa, sutradara sehebat apa pun dari Hollywood juga tidak akan bisa,” kata Iqbal.

Iqbal lantas menantang siapa saja yang menyebut adanya rekayasa terkait terorisme di Indonesia agar membuktikan dan menyampaikannya kepada Polri. Dalam upaya penegakan hukum, polisi telah telah mengedepankan due process of law, yakni penyidik mengumpulkan seluruh alat bukti dan petunjuk serta memenuhi hak-hak tersangka.

Polri bersama stakeholder lainnya pun mengklaim sudah melakukan upaya pendekatan lunak pada terduga teroris dan menyampaikan pesan deradikalisasi kepada masyarakat bersama organisasi terkait. “Tidak ada yang ditutup-tutupi,” ucap Iqbal.

Seorang dosen di USU bernama Himma Dewiana Lubis dan seorang satpam Bank Sumut bernama Amaralsyah Dalimunthe ditangkap polisi akhir pekan lalu. Himma ditangkap di rumahnya di Jalan Melinjo II Kompleks Johor Permai, Medan Johor, Medan, sementara Amaralsyah ditangkap di kediamannya di Jalan Karya Bakti, Batu Nangar, Simalungun.

“Himma ditangkap Subdit Cyber Crime Dirkrimsus Polda Sumut pada Sabtu, 19 Mei. Sedangkan Amaralsyah ditangkap Polres Simalungun pada Jumat, 18 Mei,” kata Kabid Humas Polda Sumut AKBP Tatan Dirsan Atmaja.

Tatan mengatakan, Himma ditangkap karena dua unggahan di akun Facebook-nya memuat ujaran kebencian. Salah satu status dibuatnya pascaserangan bom bunuh diri di Surabaya, Ahad (13/5).

“Himma mengunggah sebuah tulisan yang menyebutkan kalau tiga ledakan bom gereja di Kota Surabaya hanya pengalihan isu. Dalam postingannya tertulis 'skenario pengalihan yang sempurna' dan tagar ganti presiden tahun 2019,” ujar Tatan.

Setelah unggahannya viral, Himma yang diketahui merupakan dosen ilmu perpustakaan ini langsung menutup akun Facebook-nya. Namun, kirimannya telanjur di-screenshot warganet dan dibagikan ke media daring. Dia pun ditangkap polisi di rumahnya dan terancam dijerat UU ITE.

Berdasarkan pemeriksaan, Himma mengaku mengunggah status tersebut karena terbawa suasana dengan maraknya perang tagar #2019GantiPresiden. Himma yang merasa kecewa dengan pemerintah saat ini pun ikut menggunakan tagar itu.

“Penyidik telah memeriksa saksi dan menyita barang bukti berupa handphone Iphone 6S dan SIM card milik pelaku untuk kepentingan penyidikan. Polisi juga telah melakukan digital forensik terhadap handphone Himma dan mendalami motif lain terkait pemostingan ujaran kebencian yang dimaksud,” kata Tatan.

Adapun Amaralsyah, Tatan melanutkan, telah memaasang status bermuatan kebencian di akun Facebook miliknya. Dalam status tersebut, Amaralsyah menyebut, "di Indonesia tidak ada teroris, itu hanya fiksi, pengalihan isu". Polres Simalungun yang mendapat info tersebut lalu melakukan penelusuran dan menangkap Amaralsyah.

“Status itu telah melukai perasaan polisi dan juga keluarga korban terorisme,” ujar Tatan.

Kini, kata Tatan, penyidik masih memproses dua kasus tersebut. Dia pun mengimbau masyarakat untuk tidak sembarangan mengunggah sesuatu di media sosial. “Mari ciptakan kedamaian dan kesejukan saat berinteraksi di media sosial. Bijaklah dalam bermedia sosial. Jangan sampai menyebarkan hoaks dan menimbulkan ujaran kebencian,” kata mantan wakapolrestabes Medan itu.  (Pengolah: eh ismail)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement